Oleh: Andang Subaharianto, Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)
Jakarta, KABNews.id – Ajaran leluhur “eling lan waspada” (sadar dan waspada) dikutip oleh pemuda asal Banyuwangi, Sunandiantoro. Ajaran yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa itu ditujukan kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai bagian dari surat terbuka kepadanya (Kompas.com, 09/08/2023).
Saya kenal Sunandiantoro. Ia sarjana hukum lulusan Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi, yang kini berprofesi sebagai pengacara. Semasa kuliah, Sunan – demikian panggilan populernya – bisa disebut aktivis mahasiswa. Selain aktif di organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), ia juga pernah menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNTAG Banyuwangi. Tak aneh bila Sunan merasa terusik oleh peristiwa politik mutakhir menjelang Pemilu 2024, khususnya uji materi batas usia capres di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada kasak-kusuk tak sedap yang menyertai uji materi tersebut, yakni siasat meloloskan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden. Gibran, yang kini berusia 35 tahun, digosipkan akan berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Sebagai bagian dari keterusikannya, selain mengajukan gugatan ke MK, Sunan juga menulis surat terbuka kepada Gibran. “Mas Gibran, tetap eling lan waspada (sadar dan waspada) karena diduga banyak politikus kutu loncat yang sedang mendekat untuk menjerumuskan Mas Gibran dan Bapak Jokowi sehingga terkesan berhadapan dengan Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi,” kata Sunan (Kompas.com, 9/08/2023).
Saya tak menyoal uji materi usia capres di MK. Bukan ranah saya. Saya tertarik pesan Sunan kepada Gibran, yang memintanya tetap “eling lan waspada”.
Menjelang Pemilu 2024, saya melihat ajaran “eling lan waspada” penting bukan hanya buat Gibran. Sangat bijak pula disampaikan kepada para bakal calon presiden (bacapres), bahkan Presiden Joko Widodo. Perlu juga bagi para calon anggota legislatif yang hendak berkompetisi pada Pemilu 2024, dan para elite politik lain. Bahkan, juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya.
Ajaran “eling lan waspada” mengajarkan kebijaksanaan hidup. Ditulis oleh pujangga besar Raden Ngabehi Ronggo Warsito dalam bentuk sastra Jawa, Serat Kalatidha. Secara lebih lengkap berbunyi, “begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada”.
Terjemahan bebasnya kurang lebih: ‘betapa pun beruntung yang lupa, masih beruntung yang masih sadar dan waspada’.
Serat Kalatidha melukiskan “zaman edan”, kurun zaman yang ditandai dengan kata “edan” (gila). Keadaan yang serba terbolak-balik, sesuatu yang benar/baik/mulia/positif dikatakan dan dianggap salah/buruk/hina/negatif. Begitu pula sebaliknya. Bila tidak ikut gila, seseorang tidak akan mendapatkan bagian (kue).
Mendalam sekali makna ajaran tersebut. Saya kira tepat sekali dijadikan peringatan/rujukan menghadapi dinamika politik menjelang Pemilu 2024.
Pemilu sejatinya bukanlah tujuan. Pemilu hanyalah salah satu jalan demokrasi. Bagi bangsa Indonesia, jalan demokrasi itu dipilih agar kekuasaan dapat diwajibkan terbuka dan bertanggung jawab. Agar kekuasaan diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara menegaskan hal tersebut.
Demokrasi tidak cukup dijalankan pada bidang politik. Demokrasi harus menjamin kesejahteraan rakyat. Tak ada gunanya pemilu sukses tanpa membuahkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks jalan demokrasi itu partai politik (parpol) adalah sokoguru, pilar utama.
Lewat parpol, rakyat berhimpun secara politik. Lewat parpol pula rakyat memberikan suara dalam pemilu untuk memilih pemimpinnya. Lewat kader-kader parpol di legislatif pula rakyat menyalurkan aspirasi. Melalui kader-kader parpol di pemerintahan pula kebijakan-kebijakan publik dibuat dan diputuskan. Karena itu, mestinya para aktor politik patuh memperkuat jalan demokrasi secara institusional sesuai aturan main.
Parpol harus terus diperkuat agar mampu menjalankan fungsi pelembagaan politik rakyat. Meski praktiknya ada saja jalan di luar institusi, misalnya, dalam pemilu muncul kelompok relawan. Namun, politik, lebih khusus lagi pemilu, dalam perspektif Serat Kalatidha, akan dibaca secara pragmatis sekadar mekanisme perebutan kekuasaan.
Para aktor mengkalkulasi diri dan lawan. Pasang strategi dan taktik untuk saling mengalahkan, yang tak jarang kotor dan licik. Seolah-olah kekuasaan harus diraih dan dipertahankan dengan cara kotor dan licik, “zaman edan”.
Salah satu isu krusial yang menandai “zaman edan” dalam konteks pemilu adalah soal politik uang. Isu ini pula yang membuat politik terkesan kotor, berbiaya tinggi, yang berujung pada korupsi, bahkan dengan menyandera negara.
Melalui kolom berjudul “Suara Pemilih Tidak Gratis” (Kompas.com, 30/06/2023), saya mengingatkan bahwa pemimpin yang mendapatkan dukungan rakyat “berhutang” kepada rakyat. Mereka harus “melunasi” melalui kebijakan yang membela dan menguntungkan rakyat.
Sementara isu krusial lain adalah konten-konten hoaks, provokatif, dan segenap literasi media sosial lain yang cenderung manipulatif, asal bunyi, kampanye negatif, bahkan adu domba. Konten-konten negatif seperti itu diproduksi untuk menjatuhkan kompetitor. Berawal dari pertarungan dunia maya, bukan tak mungkin akan berlanjut pada dunia nyata. Tentu saja sangat jauh dari tujuan pemilu.
Pemilu sebagai jalan demokrasi sejatinya penuh harapan. Ajaran “eling lan waspada” dapat menjadi rujukan untuk mengigatkan tujuan pemilu yang sesungguhnya. Ajaran yang dirumuskan dalam Serat Kalatidha itu juga membangkitkan semangat dan upaya nyata secara bersama untuk mengubah perspektif kontestasi politik dari perlawanan menjadi perkawanan (persaingan dalam perkawanan), perpecahan/pembelahan menjadi persatuan/penyatuan. Ajaran itu juga mengembangkan model politik merangkul, bukan memukul.
Dalam konteks Indonesia, ajaran itu mengingatkan dan menyadarkan tentang politik kerakyatan yang berkeadaban, yang mengundang partisipasi warga negara dengan kesadaran penuh untuk menyempurnakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atas dasar Pancasila. Seberuntung-beruntungnya yang lupa, masih beruntung yang sadar dan waspada.
Dikutip dari Kompas.com, Sabtu 12 Agustus 2023.
Comment here