Opini

Apa Motif Kajati Jakarta Menjadi Pahlawan?

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media

Jakarta, KABNews.id – Entah atas permintaan siapa. Atau mungkin benar-benar karena empati. Tak biasanya seorang aparat penegak hukum menjenguk korban di rumah sakit. Tapi itulah yang terjadi dengan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Reda Manthovani.

Kamis (16/3/2023), Reza membesuk Cristalino David Ozora (17) yang sedang terbaring di Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan, dalam kondisi masih tak sadarkan diri setelah pada Senin (20/2/2023) lalu menjadi korban penganiayaan Mario Dandy Satriyo (20), anak Rafael Alun Trisambodo yang saat itu menjabat Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Kantor Wilayah Jakarta Selatan II. Artinya, saat dibesuk Reda, sudah 23 hari David tak sadarkan diri.

Nah, usai membesuk David itulah Reda Manthovani mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. Kajati Jakarta itu menyarankan Mario dan David berdamai. Reza pun menawarkan “restorative justice” kepada keluarga David.

Sontak, pernyataan itu menuai polemik. Keesokan harinya, Jumat (17/3/2023), barulah Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Jakarta Ade Sofyansah memberikan klarifikasi.

Ilustrasi “Justice Transaction” (2019, 80 x 60 cm) karya Kembang Sepatu.

Ade menyatakan “restorative justice” itu hanya akan berlaku bagi AG (15) yang sudah ditetapkan polisi sebagai “anak yang berkonflik dengan hukum”. AG dinyatakan sebagai pelaku dalam perkara penganiayaan David. Sedangkan untuk Mario dan Shane Lukas (19), teman Mario yang juga sudah ditetapkan polisi sebagai tersangka, proses hukum akan tetap berjalan.

Pertanyaannya, atas permintaan siapa Reda Manthovani menawarkan “restorative justice” dan berlagak pahlawan? Apakah benar sekadar karena empati? Kalau memang karena empati, mengapa baru kali ini, kalau tidak salah, ada aparat penegak hukum seperti Kajati membesuk korban?

Kalau bukan karena Mario anak dari Rafael Alun Trisambodo, mungkinkah Reda Manthovani proaktif bahkan berinisiatif menawarkan “restorative justice”?

Rafael diketahui sebagai pegawai pajak tajir melintir. Harta kekayaannya di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)-nya saja mencapai Rp56,1 miliar. Belum lagi yang disembunyikan. Terungkap kemudian Rafael memiliki “safe deposit box” di sebuah bank plat merah berisi uang tunai Rp37 miliar.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menemukan transaksi janggal Rafael di rekening dia dan keluarganya yang mencapai lebih dari Rp500 miliar. Apakah langkah Reda Manthovani ini tidak terkait dengan siapa orangtua Mario?

Secara yuridis, Kajati Jakarta itu punya alasan menawarkan “restorative justice”. Tapi jika dilihat dari ruang dan waktu, apakah yang ia sampaikan itu tepat? Apalagi kasus penganiayaan itu bukan tindak pidana ringan.

Dari sisi ruang atau tempat, David ada di rumah sakit, dan Reda pun saat itu masih berada atau baru beranjak dari rumah sakit. Tepatkah menawarkan “restorative justice”? Reda “the right man on the wrong place”.

Dari sisi waktu, saat ini David masih belum siuman, dan keluarganya pun masih diliputi kesedihan, tepatkah Reda menawarkan “restorative justice”? Reda “the right man on the wrong time”.

Landasan Yuridis

Lalu, apa itu “restorative justice” (RJ)? Dihimpun dari berbagai sumber, RJ adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Adapun dasar hukum “restorative” justice pada perkara tindak pidana ringan, yakni:

· Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

· Pasal 205 KUHP.

· Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

· Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice.

· Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan.

Khusus untuk Kejaksaan, ada Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Khusus untuk Kejaksaan yang menyangkut perempuan dan anak, ada Pedoman Kejaksaan (Perja) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.

Perja inilah yang mungkin menjadi pegangan Reda Manthovani menawarkan “restorative justice” dalam perkara penganiayaan David oleh Mario. Perja itu menjadi panduan jaksa dalam menangani setiap perkara pidana yang melibatkan kalangan perempuan dan anak. Bahkan mengoptimalkan pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.

Tapi jangan lupa. Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan “restorative justice” adalah perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 KUHP. Dalam hal ini ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp2,5 juta.

Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian dengan “restorative justice” juga dapat diterapkan pada perkara tindak pidana anak, tindak pidana perempuan yang berhadapan dengan hukum, tindak pidana narkotika, tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, dan tindak pidana lalul intas.

“Rstorative justice” tidak bisa diterapkan pada tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang. Dalam kasus penganiayaan David oleh Mario, jelas ada tindak pidana terhadap nyawa orang.

Jadi, kalau Reda Manthovani mau jadi pahlawan, silakan hanya buat AG saja, ini pun tergantung pihak David mau menerima atau tidak. Tidak buat Mario dan Shane. Bagi kedua pemuda yang sudah berusia dewasa ini, proses hukum jalan terus, sesuai prinsip “equality before the law” (kesetaraan di muka hukum)!

Comment here