Penulis: Rudi S Kamri
Sudah dua minggu ini pemerintah Afghanistan jatuh ke tangan kelompok Islam puritan dan radikal, Taliban, sesuatu yang sudah diprediksi banyak orang, meski waktunya ternyata lebih cepat. Namun sampai detik ini belum ada satu pun negara yang secara terang-terangan mendukung dan mengakui pencapaian Taliban ini. Pakistan, yang dianggap ‘sekutu diam-diam’ Taliban, juga belum secara terbuka menyatakan dukungannya.
Jadi, sangat aneh kalau beberapa tokoh politik dan kelompok atau partai politik tertentu di negeri ini ‘memaksa’ pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk segera membangun komunikasi dan mengakui pemerintahan rezim Taliban di Afghanistan. Bahkan dengan segala cara mereka melemparkan puja-puji kepada Taliban sebagai kelompok yang sudah berbeda 180 derajat dengan sebelumnya.
Faktanya? Jauh panggang dari api. Taliban sampai saat ini masih melakukan teror kepada rakyat Afghanistan yang sempat menjadi masyarakat agak terbuka di bawah pemerintahan Presiden Ashraf Ghani, boneka Amerika Serikat (AS). Eksekusi brutal masih terjadi di mana-mana. Bahkan ada perempuan yang ditembak mati hanya gara-gara menolak memakai burqa. Juga ada eksekusi brutal kepada tentara Afghanistan secara massal dan terbuka. Terakhir malah ada bom bunuh diri di dekat Bandara Hamid Karzai, Kabul yang menewaskan puluhan orang, termasuk 13 tentara AS, meskipun diklaim yang bertanggung jawab terhadap serangan itu adalah kelompok ISIS-K yang dilindungi Taliban.
Jadi, rasanya akal sehat kita tidak akan bisa menerima penjelasan beberapa tokoh politik Tanah Air bahwa Taliban sudah berubah. Yang terjadi justru ada kecurigaan bahwa ada “hidden agenda” atau agenda terselubung dari tokoh atau kelompok tersebut untuk memuluskan agenda politik mereka di negeri ini. Saya menduga keras justru keberhasilan Taliban di Afghanistan ini laksana “peluit anjing” bagi sel-sel tidur kelompok-kelompok sehaluan dengan Taliban di Tanah Air. Keberhasilan Taliban bisa menjadi inspirasi bagi sel-sel tidur itu. Karena kita tahu, pemerintah tidak pernah tuntas menyelesaikan kasus-kasus radikalisme dan terorisme di Indonesia. Seperti dalam pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Kecenderungannya hanya pembubaran atau pelarangan secara administratif semata. Hanya di atas kertas. Tidak disapu bersih sampai ke akar-akarnya.

Nah, potensi kebangkitan sel-sel tidur kelompok radikalisme dan terorisme inilah yang harus kita waspadai secara serius. Saya menyebut sel-sel tidur itu sebagai bahaya laten Talibanisme di Indonesia. Karena gerakan dan ideologi mereka punya keterkaitan. Sebagai catatan, hampir semua pelaku teroris yang menyerang negeri ini juga alumni Afghanistan. Di antara alumni Afghanistan itu yang belum tertangkap masih banyak, dan menyebar. Ini alarm kuat buat aparat intelijen dan keamanan kita. Negara jangan pernah abai dan membiarkan sel-sel tidur itu bangkit dan merusak negeri ini. Jangan pernah lengah. Termasuk terhadap kelompok kelas menengah. Kita juga harus kencang menyuarakan penolakan terhadap potensi bahaya laten Talibanisme ini.
Tidak kalah penting adalah peran tokoh-tokoh Islam yang nasionalis. Suara para ‘ulama putih’ ini saya yakini akan mampu meredam pergerakan sel-sel tidur tersebut. Minimal bisa meluruskan akal sehat masyarakat yang sempat dibelokkan oleh kelompok-kelompok pro-Khilafah itu. Kita semua, termasuk para ulama, punya panggilan peran sejarah agar negeri ini tidak tercabik-cabik akibat ulah kelompok Islam puritan seperti Taliban. Ini tanggung jawab kita bersama kepada anak cucu kelak.
Sekali lagi, kita jangan pernah lengah dan abai terhadap bahaya yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ancaman bahaya laten komunis sudah lewat. Sekarang yang di depan mata adalah ancaman bahaya laten Talibanisme. Ini realitas yang harus kita waspadai.
Maka, abaikan saja Pak Tua itu yang berkoar-koar mendukung Taliban. Sebab kita tahu, dia punya “hidden agenda” tersendiri. Hari sudah senja, enggak mau istirahat, Pak Tua?
Rudi S Kamri, Pengamat Sosial Politik dan Chief Executive Officer (CEO) Kanal Anak Bangsa (KAB).
Comment here