Oleh: Beni Kurnia Illahi
Jakarta, KABNews.id – Di tengah menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap kebijakan dan penyelenggaraan pemerintah, praktik negatif rangkap jabatan bagi pejabat publik kembali menjadi sorotan. Persoalan klasik ini seakan tak ada ujungnya. Ironisnya, frekuensi pejabat negara terlibat praktik tersebut semakin bertambah. Praktik rangkap jabatan itu ternyata tidak hanya ditemukan pada level pejabat eselon saja, namun sudah menjangkar pada jabatan strategis selevel menteri.
Dua menteri Jokowi terindikasi merangkap jabatan sebagai Pemimpin PSSI Periode 2023-2027 yaitu Menteri BUMN Erick Tohir sebagai Ketua Umum dan Menpora Zainudin Amali sebagai Wakil Ketua Umum PSSI. Padahal sudah banyak kajian-kajian yang menjustifikasi bahwa praktik rangkap jabatan bagi seorang pejabat publik merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang berseberangan dengan prinsip-prinsip etika pemerintahan, apalagi setingkat menteri.
Dalam hukum tata negara, menteri dalam sistem presidensial hanya berkewajiban untuk tunduk dan bertanggung jawab terhadap presiden dalam menjalankan urusan pemerintahan. Lebih lanjut, Richard Fenno menasbihkan kabinet presidensial (terutama di AS) adalah sebuah secondary political institution yang bertugas untuk menjalankan kewenangan presiden secara efektif dan membantu presiden mewujudkan pertanggungjawaban utamanya. Jadi tugas para menteri adalah menjalankan visi dan misi presiden, bukan kehendak partai politik atau organisasi-organisasi tempat para menteri dididik sebagai kader.
Secara yuridis, tindakan rangkap jabatan oleh Menteri BUMN dan Menpora tentu saja mencederai dan melanggar ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, di mana menteri dilarang rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris, atau perusahaan swasta, pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD.
Bila dicermati, makna organisasi yang sumber dananya dibiayai oleh APBN/APBD secara tersirat mengisyaratkan bahwa PSSI merupakan salah satunya. Sebab, pada hakikatnya PSSI juga mendapatkan dukungan dari APBN yang bersumber dari Kemenpora dalam penyelenggaraan beberapa kegiatan. Itu sebabnya, jabatan menteri tidak boleh disandingkan untuk dirangkap dalam suatu jabatan pimpinan organisasi seperti PSSI yang notabene bersumber dari APBN.
Mirisnya, kesalahan fatal tersebut dibiarkan begitu saja oleh pemerintah dalam hal ini presiden dan menganggap rangkap jabatan sebagai suatu hal lumrah serta bukan sebuah tindakan yang melanggar etika dan hukum. Padahal secara konstitusional beserta aturan turunannya menyebutkan, praktik rangkap jabatan merupakan tindakan yang melanggar hukum dan bagi siapa yang melakukannya wajib mengundurkan diri dari salah satu jabatan yang dirangkap.
Atas dasar itu, Ombudsman mesti menindak menteri-menteri hingga aktor-aktor pejabat negara yang terlibat rangkap jabatan di pelbagai BUMN ataupun organisasi yang dibiayai negara tersebut. Hal ini penting untuk ditindaklanjuti guna sebagai pertimbangan bagi Ombudsman untuk menyampaikan ke presiden agar mengambil tindakan terhadap pembantu-pembantunya yang terindikasi rangkap jabatan, baik berupa peringatan maupun penonaktifan sang pejabat dari jabatannya sebagai menteri atau pejabat publik.
Tidak sampai di sana, Ombudsman juga diharapkan tegas merekomendasikan agar pejabat tersebut mengembalikan segala fasilitas dan hak yang diterimanya selama rangkap jabatan.
Karena begitulah amanat undang-undang memerintahkan agar tidak terjadi kerugian negara dan kekacauan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan begitu, presiden selaku kepala pemerintahan ditantang tegas dan berani mengambil keputusan/tindakan terhadap menteri-menteri dan pejabatnya yang terindikasi melanggar aturan hukum atau undang-undang. Sebab, hal ini menyangkut pelayanan publik dan pelaksanaan terhadap visi-misi presiden.
Bila dibiarkan, konsentrasi para menteri atau pejabat publik akan terganggu dan akan semakin merusak reputasi presiden di mata publik. Namun, apabila presiden enggan mengambil tindakan tersebut, maka secara hukum administrasi negara, presiden dianggap melakukan pembiaran terhadap suatu pelanggaran hukum sehingga DPR wajib memberikan angket kepada presiden untuk mempertanyakan persoalan dimaksud.
Praktik rangkap jabatan merupakan persoalan serius yang wajib untuk dikawal karena menjadi salah satu pemicu benih-benih korupsi. Rangkap jabatan dianggap tidak hanya berdampak buruk bagi penyelenggaraan pelayanan publik, melainkan juga berpeluang besar melahirkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan. Berapa banyak oknum pejabat di republik ini yang tersandung kasus korupsi yang pemicunya adalah rangkap jabatan di beberapa perusahaan negara dan swasta?
Kasus yang menyeret politisi Partai Demokrat, M. Nazaruddin misalnya, yang notabene sebelumnya sebagai Anggota Badan Anggaran DPR sekaligus merangkap sebagai petinggi di sebuah perusahaan. Artinya implikasi dari praktik rangkap jabatan bagi menteri dan pejabat publik sangat bertendensi dan berbahaya bagi kepentingan publik, sehingga perlu penanganan serius oleh presiden dan aparatur yang berwenang.
Aturan yang Melarang
Terkadang tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah tradisi jika tidak dikontrol secara baik, maka berujung pada sebuah kenestapaan, sekalipun hukum mengaturnya secara kompleks. Tradisi rangkap jabatan salah satu yang dimaksud.
Namun, hal itu sebetulnya dapat ditangkis manakala pengambil kebijakan turun tangan menindak tegas praktik tersebut karena memiliki landasan hukum cukup kuat. Secara yuridis sangat banyak aturan yang melarang rangkap jabatan, seperti dalam Pasal 17 huruf (a) Undang-Undang 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menjelaskan, pelaksana pelayanan publik yang berasal dari instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha.
Begitu juga dengan UU ASN, UU Polri, dan UU TNI, yang pada intinya secara tegas menyebutkan (ASN, anggota Polri, tentara) yang masih aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun. Selain itu, Pasal 33 (b) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN dan Pasal 45 PP Nomor 45 tahun 2005 juga melarang anggota komisaris BUMN merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Artinya dari keenam regulasi tersebut, tidak satu pun norma memperbolehkan pejabat negara untuk rangkap jabatan, apalagi menjadi direksi/komisaris di BUMN. Tentu saja secara fokus kerja sudah berbeda, prinsip the right man on the right place juga tidak terpenuhi ketika rangkap jabatan menjadi pilihan bagi pejabat negara untuk memperluas kekuasaannya. Dalam optik hukum administrasi pun melalui Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tegas menyebutkan bahwa pejabat pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dilarang menetapkan dan/atau melakukan keputusan/tindakan.
Menariknya, Pasal 43 ayat (1) huruf d memperjelas salah satu konflik kepentingan yang dimaksud adalah hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat. Artinya, secara ex officio UU Administrasi Pemerintahan tidak memperkenankan pejabat pemerintahan merangkap jabatan, termasuk menteri yang merangkap sebagai pimpinan PSSI. Dikhawatirkan; pertama, secara hukum administrasi dapat mengganggu konsesi dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Ketika seorang pejabat merangkap jabatan, ia tidak lagi memiliki instrumen mengeluarkan keputusan/tindakan administratif, ibarat ‘pendekar tanpa pedang’.
Kedua, dalam perspektif hukum keuangan, rangkap jabatan tentu akan menimbulkan penghasilan ganda (double payment) baik dari pemerintah maupun dari organisasi/perusahaan yang notabene sama-sama masuk dalam kategori keuangan negara. Tentu hal ini berpotensi merugikan keuangan negara, sehingga pengembalian kerugian negara wajib dilakukan.
Oleh karena itu, di tengah menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dan anjloknya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dari 38 ke 34, hal kecil seperti rangkap jabatan yang menyelimuti para menteri di Kabinet Jokowi sudah waktunya untuk disapu. Tidakkah ada keinginan Presiden Joko Widodo untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di republik ini menjelang akhir masa jabatan 2024? Bila masih ada, inilah momentum untuk mengembalikannya. Jangan sampai menteri justru menjadi pembantu PSSI, bukan lagi pembantu presiden.
Beni Kurnia Illahi, dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Dikutip dari detik.com, Rabu 15 Maret 2023.
Comment here