Opini

Citra dan Dramaturgi Politik Jokowi

Oleh: Rafi Aufa Mawardi

Jakarta, KABNews.id – Pada akhir masa jabatannya sebagai Presiden, Jokowi menampilkan akrobat politik yang menggelitik dan penuh taktik. Siapa yang menyangka bahwa Jokowi akan membuka pintu “dinasti politik” dengan begitu cepat dan penuh manuver tingkat tinggi.

Setidaknya, hal tersebut terlihat ketika Gibran (anak sulung) yang menjadi Wali Kota Solo setelah berhasil memenangkan Pilkada Solo 2020 lalu dengan persentase kemenangan mencapai 86,5%. Kemudian, ada Bobby (menantu) yang menyusul dengan menjadi Wali Kota Medan pada 2020.

Dua tahun berselang, ada Anwar Usman (Ketua MK) yang menikahi Idayati (adik Jokowi) dan menimbulkan kontroversi di ruang publik selama beberapa pekan. Terakhir, ada Kaesang (anak bungsu) yang masuk ke PSI dan beberapa hari kemudian dilantik menjadi Ketua Umum.

Presiden Joko Widodo. (detik.com)

Beberapa momentum di atas dapat dimaknai secara normatif maupun kritis. Secara normatif, hal tersebut merupakan hak politik bagi setiap warga negara untuk mengikuti proses elektoral yang sah dan konstitusional. Namun, jika menggunakan paradigma kritis, maka ada tendensi di mana Jokowi dapat menggunakan legitimasinya sebagai Presiden untuk mengatur dan mengintervensi proses politik yang menyangkut kepentingan keluarganya.

Di lain sisi, Jokowi juga berhadapan dengan konteks “etika” yang menjadi nilai dasar (fundamental value) dalam demokrasi. Hal ini dapat terefleksikan dengan pertanyaan, “Apakah etis seorang Presiden yang masih menjabat bersikap permisif kepada keluarganya yang maju dalam pilkada?”

Tentu, jika berbicara mengenai konteks “etika” akan selalu melahirkan diskursus yang panjang dan kompleks. Namun, dalam hal ini, saya menilai bahwa ada semacam anomali dalam praktik politik Jokowi beberapa tahun ke belakang. Mulai dari isu dinasti politik hingga manuver politiknya menjelang Pemilu 2024.

Dramaturgi Politik

Meskipun cukup banyak isu negatif mengenai Jokowi yang telah dinarasikan sebelumnya, namun persepsi publik terhadap Jokowi cenderung positif. Bahkan, survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan bahwa 81,9% masyarakat Indonesia puas terhadap kinerja Jokowi.

Dengan kata lain, isu mengenai dinasti politik, perpanjangan masa jabatan, hingga manuver politiknya yang dianggap terlalu “cawe-cawe” dalam konteks elektoral tidak memberikan efek signifikan terhadap tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi.

Walaupun begitu, survei di atas masih bersifat tentatif dan dapat berubah secara dinamis. Jika isu negatif di atas mampu dikapitalisasi dengan baik oleh lawan politiknya, maka ada tendensi penurunan dalam konteks approval rating dari Jokowi menjelang Pemilu 2024.

Secara praksis, Jokowi merupakan manifestasi paling ideal untuk menggambarkan bagaimana dramaturgi politik bekerja. Sebelumnya, teori dramaturgi yang dikonseptualisasikan oleh Erving Goffman (1959) menjelaskan bahwa realitas sosial dapat dilihat sebagai panggung yang menampilkan drama atau teater.

Dalam hal ini, Goffman menilai bahwa praktik sosial individu akan menyesuaikan dengan panggung pertunjukannya yang terdiri atas panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Dramaturgi dalam ruang politik begitu termanifestasikan di dalam praktik politik dari Jokowi.

Pertama, dalam panggung depan, Jokowi selalu menampilkan persona sebagai seorang Presiden yang tampil dengan citra positif, merakyat, populis, dan berbicara mengenai urusan negara, seperti kebijakan, pembangunan, dan program.

Pada panggung depan, Jokowi bekerja secara fungsional sebagai seorang Presiden untuk menjalankan kerja-kerja pemerintahan secara konstitusional. Jokowi berkoordinasi dengan para menteri maupun mitra pemerintahan untuk mengakselerasi program pemerintah secara masif.

Kedua, dalam panggung belakang, Jokowi merupakan seorang politisi yang secara organik bergerak mengamankan kepentingannya. Oleh sebab itu, tidak begitu mengherankan Jokowi melakukan negosiasi maupun manuver politik yang memiliki implikasi positif terhadap kepentingannya. Hal ini terlihat dari fakta politik di mana Jokowi memiliki pengaruh besar terhadap partai politik di lingkaran pemerintah, seperti Golkar, Gerindra, dan PAN.

Jokowi juga secara simbolik selalu melakukan “endorsement” kepada para bacapres maupun bacawapres yang memiliki korelasi terhadap angka elektabilitas. Selain itu, Jokowi juga bermain cantik dalam melakukan berbagai manuver politik, seperti yang telah dinarasikan pada poin sebelumnya, yang dipersepsikan sebagai “dinasti politik”.

Manuver politik Jokowi benar-benar tidak dapat diprediksi dan cenderung merubah peta politik nasional. Pada konteks ini, persepsi publik yang sangat positif terhadap Jokowi mencerminkan keberhasilannya dalam mengkapitalisasi atau memanfaatkan “panggung depan” sebagai seorang Presiden. Di lain sisi, secara implisit, hal tersebut juga merefleksikan keberhasilan Jokowi dalam menjalankan perannya sebagai seorang politisi di “panggung belakang” dengan sangat mahir, taktis, dan oportunis.

Yang terbaru, peran Jokowi di “panggung belakang” sukses besar dengan mengantarkan Gibran menjadi cawapres dari Prabowo untuk bertarung dalam arena elektoral pada 2024 mendatang.

Citra di Mata Publik

Polemik dalam spektrum politik yang menghujani Jokowi dari berbagai arah tidak begitu berpengaruh terhadap citranya di mata publik. Jokowi tetap dipersepsikan oleh publik sebagai pemimpin yang demokratis, populis, merakyat, dan memiliki visi pembangunan yang baik.

Seperti yang telah dinarasikan pada poin sebelumnya, di mana tingkat kepuasan terhadap Jokowi sangat tinggi. Bahkan, Jokowi menjadi salah satu pemimpin di negara demokrasi di dunia dengan approval rating yang mencapai angka 81,9%.

Secara sosiologis, konsep mengenai “citra” selalu diasosiasikan terkait bagaimana individu atau kelompok dipersepsikan oleh individu atau kelompok lainnya (eksternal). Jadi, citra akan tercermin pada bagaimana individu atau kelompok eksternal melihat individu tersebut.

Dalam konteks Jokowi, maka citranya sebagai presiden masih dianggap baik oleh publik atau masyarakat secara umum. Walaupun cukup banyak publik yang geram dan mengecam sikap permisif dari Jokowi terkait isu-isu politik di atas, namun lebih banyak orang yang tidak begitu terpengaruh terkait hal tersebut.

Jokowi adalah politisi yang sangat andal dalam membangun citra di ruang publik. Hal ini sudah dibuktikan ketika menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga presiden sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, turun kepada masyarakat, dan hal-hal populis lainnya.

Dengan persona dari Jokowi di atas, dapat disimpulkan bahwa publik sudah sangat “jatuh cinta” dengan Jokowi. Manuver politik dari Jokowi yang berpretensi pada isu mengenai dinasti politik tidak menjadi variabel yang membuat publik secara umum geram, marah, dan kesal terhadap Jokowi.

Pada aspek yang linier, Jokowi juga sangat cerdas dalam meredam berbagai isu-isu miring yang menerpa dirinya, terutama terkait politik. Misalnya, Jokowi lebih banyak tersenyum, diam, dan mengelak ketika ditanya oleh wartawan mengenai isu-isu tersebut.

Cara-cara tersebut terbukti efektif untuk mereduksi isu-isu miring mengenai dirinya dan keluarganya. Dan, dengan cepat isu tersebut meredup dan tertutup secara sistemik oleh citra Jokowi sebagai presiden yang teramplifikasi dengan sangat baik kepada publik. Begitulah anomali, dramaturgi, dan citra dari Jokowi bekerja.

Rafi Aufa Mawardi, peneliti dan mahasiswa S2 Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya.

Dikutip dari detik.com, Senin 20 November 2023.

Comment here