Editor: Dwi Badarmanto
Jakarta, KABNews.id – Presiden Joko Widodo dalam Sidang Paripurna DPR RI tentang RAPBN 2024 beserta Nota Keuangan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023) menyebutkan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 telah mengusulkan kenaikan gaji pokok Aparatur Sipil Negara (ASN) serta TNI dan Polri sebesar 8 persen. Sedangkan kenaikan gaji pensiunan sebesar 12 persen.
Pengamat kebijakan publik dan ekonom UPN Veteran, Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai meski usulan kenaikan gaji itu diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan, namun perlu disorot bahwa kenaikan gaji drastis bisa berdampak lebih dari yang terlihat. “Peningkatan gaji sebesar 8% untuk ASN dan 12% bagi pensiunan di tahun 2024 tampaknya cukup menggiurkan, namun mari telaah lebih dalam dalam konteks realita ekonomi dan fiskal negara,” kata Achmad seperti dilansir mediaindonesia.com, Kamis (17/8/2023).
Dia memandang sebelum diputuskan menaikkan gaji ASN, sebaiknya para pengambil kebijakan mempertimbangkan lima poin berikut, yaitu kondisi fiskal terbatas 2024, beban fiskal yang berat, pembangunan daerah yang terbebani belanja ASN, stabilitas politik dan objektivitas dalam kenaikan gaji ASN.

Pertama, terkait kondisi fiskal terbatas tahun 2024. RAPBN 2024 telah menjadikan transformasi ekonomi, pengendalian defisit, dan program-program prioritas sebagai tujuan utama. Kenaikan gaji PNS, TNI dan Polri sebesar 8% dan pensiunan 12% berpotensi mengganggu alokasi dana untuk program-program prioritas. Kebijakan kenaikan gaji ASN dipertanyakan sebesar manfaatnya yang seimbang dengan dampak fiskalnya.
Achmad mengatakan pemerintah belum memaparkan risiko fiskal dari kenaikan gaji ASN itu, terutama pengaruhnya terhadap alokasi dana yang seharusnya diperuntukkan bagi program-program lain seperti bansos, pembayaran utang luar negeri, anggaran kesehatan. “Jangan sampai gaji ASN dinaikan tapi anggaran pertanian, anggaran kesehatan dikurangi,” kata Achmad.
Kedua, beban fiskal yang semakin berat. Kenaikan gaji yang signifikan berpotensi memberikan tekanan pada APBN. Dalam kondisi ekonomi global yang tidak pasti dan kebutuhan akan buffer/bantalan fiskal, langkah menaikan gaji ASN seperti ini perlu dievaluasi dengan matang. “Apalagi mengingat utang semakin besar membebani APBN. Apakah publik siap untuk memberikan beban yang lebih berat pada anggaran negara,” jelasnya.
Ketiga, keseimbangan antara kenaikan gaji dan inflasi. Meski tujuan kenaikan gaji adalah mengatasi inflasi, perlu diawasi agar tindakan ini tidak memicu inflasi lebih lanjut. Peningkatan gaji sebesar 8% yang melebihi tingkat inflasi 3,09% (yoy per Juli 2023) berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi. Kenaikan yang terlalu besar selain menciptakan gelombang inflasi yang merusak ekonomi nasional, juga menciptakan kecemburuan sosial. Jumlah ASN ada 4.25 juta orang sangat kecil dibandingkan jumlah penduduk 220 juta yang masih mengalami kesulitan ekonomi akibat kenaikan inflasi. “Tentu kenaikan gaji ASN yang terlalu besar menjadi tidak bijak di saat publik kesulitan,” kata Achmad.
Keempat, terkait tantangan anggaran di daerah. Situasi anggaran di daerah, seperti kabupaten dan kota, mungkin saja belum optimal. Beberapa daerah mengalokasikan lebih dari 70% anggaran untuk belanja pegawai daripada pembangunan. “Kenaikan gaji tanpa mempertimbangkan kondisi ini dapat menghambat pembangunan daerah,” paparnya.
Kelima, stabilitas politik dan pemilihan umum 2024. Saat ini, Indonesia mendekati masa Pemilihan Umum 2024 yang memiliki risiko. Meski kenaikan gaji dapat dianggap sebagai prestasi pemerintah, hal ini mungkin menjadi tanggungan bagi pemerintahan berikutnya. “Kebijakan ini seharusnya diberikan kesempatan kepada pemimpin yang akan datang untuk mempertimbangkannya,” terang Achmad.
Maka kenaikan gaji harus memiliki tujuan yang jelas, termasuk peningkatan kinerja dan efisiensi. Jika kenaikan gaji tidak diimbangi dengan kemajuan yang nyata dalam pembangunan, risiko anggaran belanja pegawai yang melampaui pembangunan semakin besar. “Sehingga presiden perlu menjelaskan peningkatan kinerja ASN seperti apa yang dijanjikan,” pintanya.
Oleh karena itu, alternatif keberlanjutan fiskal perlu dilakukan antara lain evaluasi dan pendekatan yang menyeluruh, di mana pemerintah dan DPR perlu mengadopsi pendekatan yang lebih luas dalam mengevaluasi dampak jangka panjang kenaikan gaji terhadap APBN. “Ini bukan hanya soal tahun 2024, tetapi juga bagaimana dampak ini berkelanjutan dalam jangka panjang,” kata Achmad.
Kedua, yaitu pilihan alternatif yang kreatif, yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dengan kesejahteraan PNS bisa diwujudkan melalui skema insentif kinerja atau solusi kreatif lainnya. Pemerintah juga harus mengendalikan inflasi dengan bijak. Kolaborasi dengan Bank Indonesia dalam mengawasi inflasi adalah kunci agar langkah ini tidak merugikan. “Meskipun kenaikan gaji PNS dapat membawa manfaat, dampaknya terhadap fiskal negara harus diperhitungkan secara cermat. Menemukan keseimbangan antara kesejahteraan PNS dan keberlanjutan fiskal adalah esensi dalam kebijakan ini,” pungkasnya.
Comment here