Oleh: Rudi Hartono, Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute Koalisi.
Jakarta, KABNews.id – Lapangan politik menuju Pemilu 2024 masih sangat cair. Meski koalisi partai politik pendukung capres mulai mengerucut pada tiga kubu, interaksi antarpartai dan manuver elite-elitenya masih berpotensi menghadirkan kejutan politik.
Ketika koalisi politik tidak berpijak di atas ideologi atau program politik, maka membaca manuver elite parpol tak ubahnya membaca arah jalan sopir bajaj; sulit ditebak.
Namun, ada yang menarik dalam dua minggu terakhir. Koalisi Indonesia Bersatu, yang dibangun oleh PPP, Golkar, dan PAN pada pertengahan Mei lalu, ternyata hanya seumur jagung. PPP berpindah ke kubu Ganjar Pranowo, sedangkan Golkar dan PAN menyeberang ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
KIB runtuh sebelum bertanding. Dinamika itu mengubah peta koalisi. KKIR, yang mengusung Prabowo Subianto, menjelma sebagai koalisi besar dengan dukungan Gerindra, PKB, Golkar, dan PAN. Gabungan kursi parlemen keempat parpol itu mencapai 265 kursi atau 46 persen. Selain itu, KKIR juga disokong tiga parpol non-parlemen: PBB, Gelora, dan PSI.

Ada yang membaca peta koalisi itu dengan hitungan matematika sederhana: menambahkan perolehan suara atau kursi semua partai dalam koalisi. Hasilnya gampang ditebak: koalisi jumbo paling berpeluang memenangkan Pilpres.
Namun, hitungan di atas kertas semacam itu sering kali memunggungi real-politik. Ada banyak preseden politik yang memperlihatkan bahwa David bisa mengalahkan Goliath dalam pertarungan elektoral.
Tidak usah jauh-jauh, pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi-Ahok yang diusung hanya oleh dua parpol bisa mengalahkan kandidat yang diusung oleh lusinan partai. Menurut saya, dalam konteks Indonesia, ada beberapa alasan mengapa koalisi besar tidak selalu identik dengan potensi dukungan elektoral yang besar.
Pertama, basis dukungan parpol di Indonesia sebetulnya sangat tipis dan rapuh. Kesimpulan ini merujuk pada party-ID yang rendah. Party-ID adalah tingkat kedekatan, baik emosional dan psikologis, dari pemilih terhadap partai tertentu.
Hasil survei SMRC pada 2017 menunjukkan, skor party-ID Indonesia hanya 11,7 persen. Artinya, hanya 11,7 persen orang di Indonesia merasa punya ikatan psikologis dengan parpol tertentu dan akan memilih parpol itu kapan pun pemilu digelar.
Sebaliknya, hampir 90 persen pemilih Indonesia tidak punya ikatan emosional dan psikologis dengan parpol tertentu. Mereka gampang berpindah haluan dan pilihan politik.
Dengan party-ID yang rendah, agak serampangan menjadikan perolehan suara atau kursi pada pemilu sebelumnya sebagai basis kalkulasi elektoral. Sebab, basis suara itu ibarat gelembung sabun yang gampang pecah.
Kedua, tidak ada pengikat ideologis antara elite partai dengan massa pemilih. Hampir semua parpol di Indonesia tak punya pijakan ideologi yang kuat. Sebagian besar hubungan elite dan massa dibentuk oleh jejaring patron-klien. Tanpa pengikat ideologis, para elite partai tak punya kapasitas untuk menggerakkan massa pemilih secara konsensual.
Sementara patron-klien butuh biaya untuk merawatnya, baik politik uang maupun pembajakan program sosial negara untuk disiramkan ke bawah.
Ketiga, tingkat kepercayaan (trust) pemilih terharap parpol sangat rendah. Dari berbagai survei, parpol selalu menjadi lembaga politik yang paling tidak dipercaya publik. Merujuk survei Indikator Politik Indonesia pada Juni 2023, parpol menempati urutan paling bawah lembaga yang dipercaya oleh publik dengan persentase hanya 65,2 persen. Bahkan, pada 2017, persentasenya sempat 39,2 persen.
Tentu saja, rendahnya tingkat kepercayaan menciptakan jarak yang jauh antara parpol dan rakyat. Parpol tidak memiliki daya tarik politik bagi sebagian besar rakyat. Tidak mengherankan, pada setiap Pemilu, pemilih lebih mengutamakan figur ketimbang Parpol. Survei Poltracking Indonesia pada Mei 2022, misalnya, menunjukkan masyarakat cenderung memilih figur personal (51,4 persen) ketimbang parpol (14,5 persen).
Keempat, pengambilan keputusan politik partai, termasuk soal koalisi dan dukungan Pilpres, sering kali tidak melalui proses yang demokratis dan partisipatif. Sering kali keputusan politik strategis tidak mendengar aspirasi dari bawah. Akibatnya, belum tentu semua struktur partai maupun kadernya tegak lurus dengan keputusan pucuk pimpinannya. Ada banyak presedennya di setiap Pemilu maupun Pilkada.
Tak bisa dipungkiri, koalisi gemuk berpotensi menarik pemilih dari berbagai latar belakang. Selain itu, koalisi gemuk juga menjanjikan stabilitas politik dan pemerintahan yang efektif ketika berhasil berkuasa. Namun, koalisi gemuk juga menyimpan bahaya, seperti mayoritarianisme presidensial, matinya check and balance, dan politik kartel. Semoga saja tidak demikian.
Dikutip dari Kompas.com, Rabu 30 Agustus 2023.
Comment here