Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media
Jakarta, KABNews.id – Habis Rafael Alun, terbitlah Andhi Pramono. Habis pejabat pajak, terbitlah pejabat bea cukai.
Demikianlah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (15/5/2023), menetapkan Kepala Bea Cukai Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono sebagai tersangka gratifikasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Itu menyusul langkah KPK yang sebelumnya menetapkan Kepala Bagian Umum Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo sebagai tersangka gratifikasi.
Rafael kemudian juga ditetapkan KPK sebagai tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sebagaimana diatur dalam UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Akankah KPK juga menetapkan Andhi Pramono sebagai tersangka TPPU? Biarlah waktu yang menjawab.
Yang pasti, baik Direktorat Jenderal Pajak maupun Direktorat Jenderal Bea Cukai sama-sama berada di bawah Kementerian Keuangan yang dikomandani Sri Mulyani Indrawati dalam hampir 10 tahun terakhir ini.
Yang pasti pula, modus operandi yang diterapkan Rafael Alun maupun Andhi Pramono pun sama, yakni menerima setoran, yang kemudian dikategorikan sebagai gratifikasi, dari pihak-pihak yang diperiksa.
Kasus gratifikasi keduanya juga terungkap dengan cara yang sama, yakni bermula dari “flexing” atau pamer kekayaan di media sosial.
Untuk Rafael, “flexing” terungkap setelah anaknya, Mario Dandy Satriyo (20) menganiaya David Ozora (17) pada 20 Februari 2023. Dandy sudah ditetapkan polisi sebagai tersangka sekaligus ditahan dan kini sedang menjalani serangkaian persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kasus yang nyaris sama juga terjadi pada AKBP Achiruddin Hasibuan di mana kekayaannya yang tidak wajar terungkap setelah anaknya, Aditya Hasibuan (19), menganiaya seorang mahasiswa bernama Ken Admiral (19) pada 21-22 Desember 2022. Achiruddin dan Aditya kini juga berstatus tersangka. Adapun kasus dugaan gratifikasi Achiruddin diserahkan KPK ke Polda Sumatera Utara.
Tidak itu saja. Achiruddin juga dicopot dari jabatan Kepala Bagian Pembinaan dan Operasi Direktorat Narkoba Polda Sumut, bahkan akhirnya dipecat dari Polri.
Sementara itu, jumlah harta kekayaan Rafael Alun yang dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tercatat sebesar Rp56 miliar. Jumlah ini tidak sesuai dengan profil pendapatannya sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN). Bahkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi janggal di rekening Rafael dan keluarganya yang mencapai lebih dari Rp500 miliar.
Adapun jumlah harta kekayaan Andhi Pramono dalam LHKPN tercatat mencapai Rp14, 8 miliar yang juga dinilai tidak sesuai dengan profil pendapatannya sebagai ASN. KPK juga menemukan transaksi janggal di rekening Andhi Pramono yang diibaratkan PPATK seperti bus AKAP yang salip-menyalip dengan Rafael.
Lalu, adakah yang akan menyusul jejak Rafael Alun dan Andhi Pramono? Banyak, jika Kementerian Keuangan dan KPK mau jeli. Sayangnya, di Indonesia sebuah kasus baru ditangani semestinya setelah viral. Jika tidak viral maka tidak akan ada keadilan. “No viral no justice”.
Kasus Rafael Alun dan Andhi Pramono disebut PPATK sudah cukup lama dilaporkan ke instansi masing-masing. KPK juga memegang LHKPN mereka yang mencurigakan itu. Tapi Kemenkeu dan KPK tidak bergerak sampai kemudian kasus keduanya viral.
Kasus penganiayaan Ken Admiral oleh Aditya Hasibuan juga sempat dipetieskan sekian lama sampai kemudian kasusnya viral di media sosial.
Apa Kabar Transaksi Mencurigakan Rp349 Triliun?
Sesungguhnya kasus Rafael Alun dan Andhi Pramono ini hanya fenomena puncak gunung es di lautan, yang kelihatan cuma sebagian kecil pucuknya saja, sementara yang tak kehilatan jauh lebih besar. Jika diungkap, masih banyak kasus serupa di Kemenkeu.
Lihat saja temuan PPATK yang diungkap Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md. PPATK menemukan transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kemenkeu. Rinciannya, pertama, transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu hingga Rp35,5 triliun. Kedua, transaksi di Kemenkeu yang melibatkan pegawainya dan pihak lain hingga Rp53,8 triliun. Ketiga, transaksi mencurigakan dari perusahaan-perusahaan yang masuk ke dalam kewenangan Kemenkeu hingga Rp260,5 triliun.
Transaksi mencurigakan ini telah bermuara ke hukuman disiplin terhadap 190 pegawai Kemenkeu antara 2009 dan 2023. Setidaknya 10 pegawai lainnya ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Jumlah transaksi mencurigakan terbesar tercatat Rp199,4 triliun pada 2020, yang bermuara pada hukuman disiplin terhadap 44 pegawai.
Kementerian Koordinator Polhukam kemudian membentuk Satuan Tugas (Satgas) TPPU pada Rabu (3/5/2023). Pembentukan Satgas TPPU ini merupakan tindak lanjut dari penemuan transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun di lingkungan Kemenkeu.
Satgas ini terdiri atas PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Bidang Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kemenkopolhukam.
Pertanyaannya, sudah mulai bekerjakah Satgas TPPU ini? Jika sudah, lalu progresnya sudah sampai mana?
Jangan hangat-hangat tahi ayam. Apalagi DPR RI sudah menunjukkan keengganannya untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) TPPU untuk menyelidiki kasus transaksi mencurigakan di Kemenkeu.
Alhasil, kasus transaksi mencurigakan Rp349 triliun ini harus terus-menerus dikawal publik, bahkan diviralkan kembali. Sebab, “no viral no justice”. Jika Satgas TPPU serius, niscaya akan bermunculan Rafael Alun-Rafael Alun dan Andhi Pramono-Andhi Pramono yang lain.
Comment here