Ekonomi

Indef: China Merapat ke Afghanistan karena Ambisi Jalur OBOR

Editor: Karyudi Sutajah Putra

Jakarta, KABNews.id – “China yang melihat dengan jeli peluang memanfaatkan mundurnya Amerika Serikat (dari Afghanistan) segera ‘merapat’ ke pihak Taliban. Itu karena ambisi China yang ingin mewujudkan jalur OBOR-nya,” ujar Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Zulfikar Rahmat dikutip dari Tempo.co, Sabtu (4/9/2021).

Zulfikar melihat strategi China mendekati Afghanistan berkaitan dengan ambisi negara tersebut mewujudkan jalur dagang one belt one road atau OBOR. China, kata dia, ingin membangun jalur OBOR melintasi Afghanistan via Asia Tengah, Eropa Timur, dan Eropa Barat.

China menjalin hubungan dengan Taliban setelah kelompok militan tersebut kembali berkuasa di Afghanistan, 15 Agustus lalu. China menyatakan akan memperdalam hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Afghanistan serta berusaha mempertahankan hubungan tak resmi dengan Taliban setelah AS menarik pasukannnya.

Antrean panjang di depan bank di Kabul, Afghanistan, 1 September 2021. Sebelumnya pada Sabtu (28/8), Taliban telah memerintahkan bank untuk dibuka kembali dan memberlakukan batasan penarikan tunai hingga 20.000 Afghani atau sekitar Rp3,6 juta. (Foto: Tempo.co)

Selain memiliki tujuan mewujudkan OBOR, Zulfikar mengatakan China melihat Afghanistan mempunyai potensi cadangan logam atau rare earth. Cadangan logam ini merupakan bahan pembuat microchip dan teknologi mutakhir lainnya, yang diperkirakan bernilai US$ 1 triliun.

“Kemudian, China juga ingin mengurangi potensi penyebaran jaringan teroris terkait muslim Uighur di Xinjiang,” ujar Zulfikar.

Sebagai negara yang kerap dilanda perang, Afghanistan memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Sebanyak 50 persen warga Afghanistan, kata Zulfikar, hidup di bawah garis kemiskinan.

Selan itu, 5,5 juta penduduknya mengalami masalah ketahanan pangan. Dari sisi negara, pemerintah setempat mencatatkan defisit neraca perdagangan mencapai 30 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Kredit sektor swasta hanya mencapai 3 persen dari GDP, namun belanja keamanan menembus 28 persen dari GDP pada 2019.

“Wajar kemudian Afghanistan dijuluki sebagai negara gagal. Ranking GDP-nya berada di papan bawah pada urutan 213 dari 228 negara dan rangking utang publik di posisi 202 dari 228 negara,” kata Zulfikar. Dengan kondisi ini, Afghanistan memiliki ketergantungan terhadap bantuan luar negeri sampai 80 persen.

Comment here