Opini

Indonesia Hamil Tua!

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

Jakarta, KABNews.id – Ibarat seorang perempuan, Indonesia kini dalam kondisi hamil tua. Kontraksi sudah terjadi. Jika ada bidan, maka segera lahirlah seorang bayi. Bayi itu bernama revolusi. Bidan itu pentolan demonstran. Kerusuhan Mei 1998 yang berujung tumbangnya rezim Orde Baru pun bisa terulang.

Ya, rakyat Indonesia, terutama yang berada di “grass roots” (akar rumput), kini dalam kondisi kering-kerontang. Jika ada percikan api sedikit saja yang menyulutnya, bisa terbakar.

Mengapa Indonesia kini dalam kondisi hamil tua dan rakyatnya ibarat rumput kering? Jawabnya sederhana: ketidakadilan!

Ketidakadilan terjadi di bidang ekonomi, sosial, hukum dan politik. Secara ekonomi, berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Meski tingkat kemiskinan bisa ditekan sejak 2015, namun kesenjangan ekonomi masih menjadi tantangan. Ekonomi bahkan dikuasai oligarki yang dekat dengan kekuasaan.

Presiden Jokowi juga mengakui, 1 persen penduduk Indonesia menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini. Sementara penduduk lain yang jumlahnya 99 persen hanya menguasai 41 persen lahan lainnya.

Secara sosial, kesenjangan antara kaya dan miskin terjadi di mana-mana. Lihat saja di kota-kota besar di Indonesia. Di mana ada gedung pencakar langit, di sekitarnya tumbuh permukiman kumuh. Contohnya di Tanah Abang (Jakarta Pusat), Tanjung Priok (Jakarta Utara), Tanjung Duren (Jakarta Barat), Pasar Minggu (Jakarta Selatan), dan Pulogadung (Jakarta Timur).

Gaji pegawai menjulang tinggi, sementara rakyat kebanyakan mencari uang 10 ribu rupiah saja sulitnya minta ampun. Lihat saja Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) para pejabat. Itu baru yang dilaporkan, belum yang disembunyikan. Terungkapnya harta kekayaan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo membuka mata kita betapa ketidakadilan sosial sangat tinggi di negeri Pancasila ini.

Beberapa waktu lalu juga terungkap fenomena rekening gendut para perwira Polri yang kini menyublim entah ke mana.

Di ranah hukum, pedang Dewi Keadilan ternyata lebih tajam ke bawah daripada ke atas. Mereka yang punya jabatan dan uang sering kali lolos dari jeratan hukum. Tapi seorang nenek pencuri sebatang kayu atau sebutir biji kakao saja, misalnya, bisa masuk penjara.

Di ranah politik, kekuasaan juga didominasi oligarki. Mayoritas partai politik merapat ke penguasa. Sebab itu, di Senayan pun kerap terjadi “koor” atau paduan suara. Tak ada suara sumbang apalagi keras untuk pemerintah.

Atas semua kondisi itu, ibarat seorang perempuan, sekali lagi, Indonesia dalam kondisi hamil tua. Jika ada yang membidaninya, niscaya bayi itu segera lahir. Bayi itu bernama revolusi. Bidannya adalah para pentolan demonstran. Jika ada bidan-bidan yang getol mengorganisir demonstran, niscaya bayi revolusi itu segera lahir.

Di mana-mana, pemicu revolusi adalah ketidakadilan. Karena tidak adil, maka rakyat tidak puas terhadap penguasa. Karena tidak puas, maka rakyat melakukan pemberontakan. Dalam konteks sipil, pemberontakan itu bisa berarti aksi demonstrasi seperti pada Mei 1998 yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.

Penundaan Pemilu

Lalu, apa faktor pemicu kontraksi sehingga bidan akan bertindak untuk membantu kelahiran sang jabang bayi bernama revolusi? Atau api pemantik yang akan menyulut rerumputan kering-kerontang sehingga terbakar?

Faktor utama adalah penundaan Pemilu 2024. Presiden Jokowi memang sudah berkali-kali menegaskan pemilu akan digelar tepat waktu, yakni 14 Februari 2024. Jokowi dan keluarga juga sudah terdaftar sebagai pemilih Pemilu 2024. Tapi, rakyat tak kunjung percaya.

Tidak itu saja, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga konsisten menjalankan tahapan pemilu “step by step”. Tapi jangan lupa, ada keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terhadap gugatan Partai Prima yang berkonsekuensi pada penundaan Pemilu 2024.

KPU memang melakukan banding. Tapi jika banding ditolak dan Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan keputusan PN Jakpus, bagaimana nasib Pemilu 2024, apakah akan benar-benar gigelar atau justru ditunda?

Elite-elite politik juga tetap berwacana soal kemungkinan penundaan pemilu. Salah satunya M Romahurmuziy. Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menyatakan peluang Pemilu 2024 digelar tepat waktu adalah “fifty-fifty”.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo sebelumnya juga getol berwacana soal penundaan Pemilu 2024. Kegetolan itu hingga kini tampaknya belum surut.

Komisi II DPR RI, Rabu (15/3/2023), menyepakati Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan ini menegaskan Pemilu 2024 tetap berjalan sesuai rencana. Dalam Pasal 22 UUD 1945, Perppu memiliki dua opsi, yakni disetujui atau ditolak. Jika ditolak, maka Pemilu 2024 terancam ditunda. Kekhawatiran publik pun masih membara.

Kini, setelah disetujui Komisi II, Perppu Pemilu akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk diambil keputusan. Pertanyaannya, apakah Rapat Paripurna DPR akan menyetujui Perpu Pemilu yang sudah disepakati semua fraksi di Komisi II?

Lazimnya demikian. Tapi bisa saja di luar kelaziman, yakni ditolak. Namanya juga politik. Di politik, segala kemungkinan bisa terjadi. Apalagi, DPR dan juga DPD adalah pihak yang paling diuntungkan jika Pemilu 2024 ditunda, di samping tentunya Presiden dan Wakil Presiden. Sebab, tak perlu capai-capai tenaga dan buang biaya, mereka bisa tetap menduduki kursi empuknya sampai pemilu kemudian digelar.

Sebab itu, peluang Perppu Pemilu ditolak DPR pun, meminjam istilah Romi, “fifty-fifty”. Apa pun bisa terjadi di dunia politik. Termasuk yang melawan akal sehat sekalipun.

Alhasil, jika Pemilu 2024 benar-benar ditunda, maka jabang bayi bernama revolusi bisa segera lahir, seperti pada Mei 1998. Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab?

Comments (1)

  1. akeh nemen pak ketu……………macane suwe………………

Comment here