Opini

Jemawa

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

Jakarta, KABNews.id – Jemawa berarti angkuh, congkak, sombong. Demikianlah mungkin PDI Perjuangan. Dengan kepemilikan 128 kursi di DPR RI atau 22,26%, partai berlambang banteng dalam lingkaran ini memang patut jemawa. PDIP tampak ogah-ogahan berkoalisi dengan parpol lain. Tapi ini politik, Bung. Sikap jemawa hanya akan membawa petaka. Sudah banyak contohnya.

Sesuai ketentuan Pasal 222 Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dari sembilan partai politik pemilik kursi di Senayan, PDIP-lah satu-satunya yang bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden sendirian di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. PDIP satu-satunya parpol yang memenuhi ambang batas pencalonan presiden atau “presidential threshold” 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah nasional hasil pemilu sebelumnya.

Mungkin PDIP bukan jemawa, melainkan “over confidence” atau terlalu percaya diri. Tetapi di ranah politik, jemawa dan “over confidence” apa bedanya? Politik itu “take and give” (menerima dan memberi), bukan menang-menangan atau “the winner take all” (pemenang mengambil semuanya). Tidak bisa!

Sejauh ini ada tiga kandidat capres yang sudah dideklarasikan partai politik masing-masing. Ketiganya adalah Prabowo Subianto, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra dan Menteri Pertahanan ditetapkan partainya sebagai capres 2024 pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Gerindra di Sentul, Jawa Barat, 12 Agustus 2022 lalu.

Analis politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) Karyudi Sutajah Putra. (Istimewa)

Menyusul kemudian Anies Baswedan, saat itu Gubernur DKI Jakarta, yang ditetapkan Partai Nasdem sebagai capres 2024 pada 3 Oktober 2022 di Jakarta. Terakhir Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang ditetapkan PDIP sebagai capres 2024 pada 21 April 2023 di Istana Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kemudian mendukung pencapresan Prabowo, disusul Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai non-parlemen pun ikut-ikutan mendukung Prabowo, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Pertai Gelora, serta kemungkinan menyusul Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat kemudian mendukung pencapresan Anies Baswedan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung pencapresan Ganjar Pranowo. Partai non-parlemen pun ada yang mendukung Ganjar, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Dikutip dari sebuah sumber, jika dilihat dari dukungan parpol serta suara sah nasional Pemilu 2019, maka Prabowo Subianto akan memenangkan pertarungan Pilpres 2024, karena total suara dari Gerindra, PKB, Golkar dan PAN mencapai 57.967.348 pemilih berdasarkan hasil Pemilu 2019.

Ganjar Pranowo ada di peringkat dua dengan suara pemilih mencapai 39.276.935 yang terdiri atas perolehan suara PDIP, PPP, Perindo dan Hanura di Pemilu 2019.

Peringkat terakhir adalah Anies Baswedan dengan suara mencapai 35.031.962 pemilih yang terdiri atas perolehan suara Nasdem, PKS dan Demokrat di Pemilu 2019.

Meski dikalkulasi dari peta politik Prabowo akan memenangkan Pilpres 2024, namun PDIP masih tetap percaya diri, jika tak mau dibilang jemawa. Ketika PPP bermanuver akan mengevaluasi dukungannya kepada Ganjar jika Sandiaga Uno, yang baru-baru ini diangkat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PPP, tidak diakomodasi sebagai cawapres, misalnya, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah langsung mempersilakan PPP hengkang dari koalisi.

Koalisi, kata Basarah, harus didasarkan atas keikhlasan atau kesukarelaan. Mana ada keikhlasan di ranah politik? Yang ada adalah “take and give”. “No lunch free” (tak ada makan siang gratis). Aneh-aneh saja Ahmad Basarah ini. Padahal cuma PPP, parpol parlemen yang mau berkoalisi dengan PDIP.

Atau mungkin PDIP pun sepandangan dengan kubu Anies Baswedan. Ketika Golkar dan PAN bergabung dengan Gerindra dan PKB mendukung Prabowo, bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu mengaku biasa-biasa saja, karena sudah berpengalaman di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 di mana parpol pendukungnya cuma tiga, yakni Gerindra, PAN dan PKS. Itu pun Anies yang berpasangan dengan Sandiaga Uno saat itu menang.

Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, yang merupakan mentor politik Anies, juga senada. Saat maju sebagai cawapres bersama capres Susilo Bambang Yudhoyono di Pilpres 2004, duet SBY-JK hanya didukung oleh tiga parpol, yakni Demokrat, PBB dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Itu pun SBY-JK menang.
Akankah fenomena Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2004 terjadi pula di Pilpres 2024, sehingga Ganjar Pranowo yang hanya didukung dua parpol perlemen, yakni PDIP dan PPP akan menang? Kita tunggu saja tanggal mainnya.

Yang jelas, jika yang dikatakan JK benar, yakni dalam pilpres orang lebih melihat orang (calon), bukan parpolnya, maka elektabilitas Ganjar pun masih tertinggal dari Prabowo. Jadi, kemungkinan Ganjar akan menang masih tipis. Jika ini terjadi, maka sikap jemawa-nya PDIP itu tidak “jumbuh” (sesuai).

Comment here