Editor: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, KABNews.id – Budayawan Eros Djarot mengajak masyarakat tetap tenang, meskipun sedang menyaksikan “drama Korea” Presiden Joko Widodo yang ia nilai jahat. “Kejelekan Jokowi pasti sudah di benak teman-teman semua. Bayangan apa yang akan terjadi kalau seperti ini terus, juga pasti sudah di benak teman-teman semua. Sekarang sudah jelas dia jahat. Sudah, tidak usah kita bahas lagi. Yang penting masyarakat tetap tenang sambil membentuk barisan,” kata Eros Djarot saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk, “Mimbar Kebangsaan” yang digelar organ Relawan Gapura Nusantara (RGN) di Kepala Gading, Jakarta Utara, Kamis (16/11/2023).
Selain Eros, tampil sebagai narasumber acara dengan moderator youtuber ternama Rudi S Kamri itu adalah pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti dan Ray Rangkuti, pakar pertahanan Dr Connie Rahakundini Bakrie, mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Suroyo Bimantoro, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, dan pakar komunikasi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Dr Henri Subiakto.

Diketahui, akhir-akhir ini Presiden Jokowi mendapatkan sorotan negatif dari publik setelah diduga mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga lembaga yudikatif yang dipimpin Anwar Usman, adik ipar Jokowi itu mengabulkan “judicial review” (uji materi) Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyangkut syarat usia minimal calon presiden/wakil presiden. Melalui Putusan No 90/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Senin (16/11/2023), MK memutuskan usia capres/cawapres boleh di bawah 40 tahun asal sedang/pernah menjabat kepala daerah.
Dengan demikian, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang baru berusia 36 tahun bisa maju sebagai cawapresnya Prabowo Subianto di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 karena sedang menjabat Walikota Surakarta, Jawa Tengah. Presiden Jokowi pun merestui anak kesayangannya itu.
Saat ini, kata Eros, justru Presiden Jokowi-lah yang sedang panik karena menghadapi serangan politik dan kritikan yang bertubi-tubi, serta bagaimana kalau dia sudah lengser nanti. Namun, katanya, masyarakat tak perlu ikut-ikutan panik sehingga akan kehilangan akal sehatnya sebagaimana Jokowi. “Bagi saya sekarang sudah jelas. Saya senang dengan keadaan sekarang. Karena apa? Karena kita sudah bisa menentukan dengan pasti, kita punya musuh bersama. Maka hanya ada satu kata: lawan!” cetus Eros Djarot mengutip penggalan puisi Widji Thukul berjudul, “Peringatan” (1996).
“Guys, stand up (berdiri). Kita lawan. It’s time to act (inilah saatnya beraksi), killed or to be killed (terbunuh atau membunuh). Ibu-ibu dan semua kita minta rapatkan barisan. Justru yang kita perlukan saat ini adalah konsolidasi kekuatan nasional yang belum pernah dilakukan sejak era reformasi. Yang ada keributan nasional,” tegas pencipta lagu “Badai Pasti Berlalu” yang dipopulerkan mendiang Chrisye ini.
Kepanikan Jokowi itu diibaratkan Eros seperti seekor angsa sesaat menjelang ajal yang gigitan terakhirnya sangatlah dahsyat. “Banyak yang bilang, itu TNI/Polri sudah gabung Jokowi. Itu bagi yang panik. Ternyata enggak, kan? Jangan panik!” pintanya lagi.
Masyarakat, lanjut Eros, memang sengaja dibuat panik sedemikian rupa, sehingga lupa apa yang harus dilakukan. “Kalau saya konsentrasi saja. Sekarang ‘time to act’ (waktunya beraksi). Konsentrasi saja ke situ. Bagaimana kita meembangun barisan. Sekaranglah saatnya ‘civil society’ (masyarakat sipil) bangkit. Terlalu mahal negeri ini kalau hanya dititipkan ke para politisi, karena kadar kenegarawanan politisi kita saat ini ‘almost zero’ (hampir nol). Jadi, saya sangat berharap kebangkitan ‘civil society’. ‘Civil society’ ini beda dengan relawan yang ingin jadi komisaris,” terangnya.
Jokowi dinilai Eros wajar saja sekarang menempuh segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya, karena dosanya banyak, sehingga jika tidak begitu maka jika sudah lengser nanti akan “dikuyo-kuyo”. “Wajar, manusiawi, tapi manusiawi yang enggak jelas,” tukasnya.
Untuk itu, ia mengajak semua kekuatan sipil untuk mengawasi Pemilu/Pilpres 2024, sehingga tidak akan terjadi kecurangan. Eros lalu merujuk contoh hasil pemilu yang membuatnya heran, yakni Pemilu 2004 dan 2009 di mana perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2004 hanya 7 persen, namun pada Pemilu 2009 melonjak drastis menjadi 21 persen. “Padahal tidak ada kontraksi politik yang signifikan. Tak ada prestasi ekonomi yang signifikan. Saya curiga, jangan-jangan mesin pemilu dikuasai seseorang. Ini jangan sampai terjadi lagi. Harus kita awasi. Harus kita lawan,” tandasnya.
Comment here