Opini

Karangan Bunga dan Harapan Penegakan Hukum

Oleh: Furqan Jurdi

Jakarta, KABNews.id – Hari Minggu, 30 Juli 2023 di Perumahan Jurangmau Permai Tangerang Selatan, tepatnya di rumah Alexander Marwata, salah satu pimpinan KPK dikirim karangan bunga misterius. Karangan bunga itu menyampaikan pesan, “Selamat atas keberhasilan Bapak Alexander Marwata memasuki pekarangan tetangga.” Di bawahnya tertulis nama pengirim, “Tetangga”.

Sepertinya Alexander Marwata sedang bersengketa dengan tetangganya. Mungkin tetangga jauh atau tetangga dekat, masih misteri. Ini semacam pesan peringatan, bukan ucapan selamat biasa. Namun, dua karangan bunga itu memiliki makna semiotika yang tidak sederhana. Ada pesan kuat di balik “ucapan selamat” itu, semacam warning, bisa juga berbentuk teror.

Tapi, sebelum berspekulasi lebih lanjut bahwa ini teror, ada baiknya kita beranggapan bahwa Alexander memang memiliki masalah dengan tetangganya. Setelah beranggapan baik, kita perlu mengulik spekulasi publik yang menduga karangan bunga itu erat kaitannya dengan kasus korupsi yang ditangani KPK belakangan ini.

Furqan Jurdi. (detik.com)

Tentu anggapan publik itu tidak keliru. Bisa saja ini memang teror. Dalam kejahatan besar selalu ada teror dan intimidasi. Karangan bunga memiliki dua simbol, selain ucapan selamat, juga ucapan belasungkawa. Menariknya dalam karangan bunga yang dikirim ke Alexander ucapan selamat untuk sebuah kesalahan. Ini dapat dianggap sebagai sebagai peringatan.

Kalau karangan bunga itu ditujukan kepada pribadi karena memasuki pekarangan, itu teror dari musuh pribadinya. Tetapi kalau karangan bunga itu ditujukan karena tugas dan jabatannya, tentu itu peringatan bagi semua pimpinan KPK. Sebab teror dalam politik dan kekuasaan, apalagi itu berkaitan dengan kejahatan extra ordinary, bisa jadi semacam taktik.

Bukan Hal Baru

Teror sama sekali bukan suatu hal yang baru. Pada prinsipnya teror tidak pernah dan tidak dapat ditolak. Teror adalah suatu bentuk aksi militer yang biasanya lebih cocok dan bahkan sangat dibutuhkan pada saat tertentu di dalam pertempuran, dengan keadaan pasukan tempur tertentu dan kondisi-kondisi tertentu.

Dalam kondisi perang, teror merupakan strategi untuk menjatuhkan wibawa musuh, supaya moralnya ambruk dan lebih mudah diintimidasi. Namun, kalau sekiranya teror itu berkaitan dengan tugas Alexander di KPK, ini cukup berbahaya. Karena ancaman seperti ini dapat merusak kinerja kelembagaan dan pemberantasan korupsi.

Siapa yang berani menggunakan teror seperti ini? Tidak ada yang bisa menduga; ini bisa saja datang dari kekuatan besar yang memiliki masalah dengan Alexander sebagai pribadi atau dengan Alexander sebagai pimpinan KPK. “Memasuki pekarangan” dalam kalimat tersebut bisa melahirkan dua tafsir. Apabila itu berkaitan dengan Tugas Kelembagaan KPK, dapat dianggap ini adalah teror dari orang yang memiliki masalah hukum di KPK.

Bisa saja ada yang beranggapan, teror ini berkaitan dengan skandal jual beli perkara di Mahkamah Agung, karena KPK pernah menggeledah Gedung MA. Bisa juga berkaitan dengan proses penyidikan di Basarnas, karena KPK mengambil alih peran peradilan militer. Dan/atau kasus lain yang selama ini banyak menjadi sorotan yang melibatkan orang penting di negeri ini.

Tidak menutup kemungkinan juga bahwa teror itu digunakan oleh orang yang memiliki “dendam” kepada pimpinan KPK dengan menunggangi polemik yang terjadi antara KPK dan TNI. Atau, bisa juga semacam orang yang sedang simpati kepada KPK, atau mereka yang mendukung KPK. Dengan upaya membuat teror itu, Pimpinan KPK dianggap dalam bahaya ancaman. Ini bentuk aksi menangkal protes terhadap KPK sekaligus mencari dukungan massa.

Kecurigaan Paling Kuat

Kecurigaan mengenai teror itu yang paling kuat ditujukan kepada kasus Basarnas yang ditangani KPK. Tapi bagi saya ini keliru. Sebenarnya kalau mau jujur, polemik kasus yang ditangani itu sudah hampir selesai ketika dua institusi itu bersepakat untuk menyelesaikan kasus sesuai yurisdiksi masing-masing.

Peradilan Militer juga mempunyai rekam jejak yang cukup bagus dalam melakukan penindakan terhadap anggota militer aktif dalam perkara korupsi. Misalnya dalam kasus Brigjen Teddy Hernayadi. Pengadilan Militer Tingkat II menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Teddy, memecatnya dari TNI, dan mengembalikan kerugian negara sekitar Rp 130 miliar.

Di satu sisi, dengan adanya protes dari Puspom TNI atas penetapan tersangka anggota TNI aktif, dianggap sebagai impunitas. Di sisi lain, jejak Pengadilan Militer telah membuktikan ketegasannya terhadap anggota yang melakukan korupsi.

Silang pendapat antara Puspom TNI dan KPK ini membuka peluang untuk menciptakan konflik kelembagaan. Bisa saja ada pihak yang “menunggangi” polemik itu untuk menciptakan teror sehingga keadaan semakin gaduh. Menggunakan teror dalam situasi sekarang ini, metode semacam itu tidak pada tempatnya dan tidak cocok. Dengan teror semacam seperti itu, akan meningkatkan simpati publik pada Pimpinan KPK. Simpati akan menjadi energi besar untuk melakukan perlawanan balik.

Teror mungkin bisa menggusarkan orang, atau menciptakan semacam ketakutan, tetapi tidak mampu memporakporandakan kekuatan inti. Teror akan memakan dirinya sendiri.

Pada akhirnya kita melihat betapa bangsa ini masih berada dalam dilema. Antara penegakan hukum dan politik masih saling berkelindan mencari legitimasi dan pembenaran. Karena itu, penegakan hukum yang adil, transparan, dan akuntabel menjadi penting. Sehingga semua orang merasa puas dengan penegakan hukum itu, dan tidak ada lagi teror dan ketidakpuasan.

Furqan Jurdi, Ketua Pemuda Madani.

Dikutip dari detik.com, Selasa 15 Agustus 2023.

Comment here