Opini

Kembalinya “Pahlawan-pahlawan Tipikor” ke Senayan

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

Jakarta, KABNews.id – Betapa sulitnya mencari 575 orang berintegritas untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Akibatnya, partai-partai “terpaksa” mengajukan orang-orang tak berintegritas untuk mengisi kursi Senayan.

Begitu pun untuk 152 kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, sehingga mereka yang tidak berintegritas pun “terpaksa” maju sebagai calon senator. Padahal, jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai sekitar 275 juta orang.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis data eks-narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) dalam Daftar Calon Sementara (DCS) DPR RI dan DPD RI Pemilu 2024. Untuk DPR RI, jumlahnya sedikitnya 52 orang, dari berbagai partai politik. Untuk DPD RI, jumlahnya sedikitnya 15 orang. Total sedikitnya ada 67 calon anggota DPR RI dan DPD RI yang pernah menyandang status koruptor. Ini belum termasuk caleg untuk DPRD provinsi, kabupaten dan kota.

Nyaris semua parpol, baik lama maupun baru, mengajukan caleg koruptor. Sebut saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mengusung 6 caleg untuk DPR RI. Lalu, Partai Gerindra 2 caleg, PDI Perjuangan 4 caleg, Partai Golkar 9 caleg, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sedikitnya 6 caleg, Partai Buruh 3 caleg, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 1 caleg, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 5 caleg, Partai Garda Republik Indonesia 1 caleg, Partai Amanat Nasional (PAN) 4 caleg, Partai Demokrat 3 caleg, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 1 caleg, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) 4 caleg, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2 caleg, dan Partai Ummat 1 caleg.

Gedung Kura-kura DPR RI, Senayan, Jakarta. (Istimewa)

Di antara caleg-caleg koruptor itu ada yang pernah duduk di DPR RI. Sebut saja Al Amin Nur Nasution yang tersandung korupsi semasa menjadi anggota Komisi IV DPR RI dari PPP, namun kini maju dari PDIP untuk daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah VII.

Lalu, Teuku Muhammad Nurlif yang tetap maju dari Golkar untuk dapil Aceh I, Nurdin Halid yang juga tetap maju dari Golkar untuk dapil Sulawesi Selatan II, dan Wa Ode Nurhayati yang dulu dari PAN kini maju dari Hanura untuk dapil Sulawesi Tenggara.

Ada pula Nurul Qomar yang pernah menjadi anggota DPR RI dari Demokrat dan dipenjara karena kasus ijazah palsu, kini maju dari PAN untuk dapil Jawa Barat VIII.

Adapun mantan narapidana korupsi yang kini maju sebagai caleg DPD RI antara lain Patrice Rio Capella yang tersandung kasus suap saat menjadi anggota DPR RI. Mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem itu kini maju sebagai caleg DPD RI dari Provinsi Bengkulu.

Lalu Emir Moeis yang tersandung korupsi saat menjabat anggota DPR RI dari PDIP, kini maju sebagai caleg DPD RI dari Provinsi Kalimantan Timur.

Ada pula eks-kepala daerah bekas narapidana korupsi yang maju sebagai caleg DPR RI dan DPD RI.
Untuk DPR RI ada Huzrin Hood, mantan Bupati Kepulauan Riau yang kini maju dari PKB untuk dapil Kepri; mantan Bupati Subang, Jawa Barat, Eep Hidayat yang kini maju dari Nasdem untuk dapil Jawa Barat IX; dan mantan Walikota Bekasi, Jawa Barat, Mochtar Mohamad dari PDIP yang kini juga maju dari PDIP untuk dapil Jawa Barat V.

Lalu, ada Thaib Armaiyn, mantan Gubernur Maluku Utara yang kini maju dari Demokrat untuk dapil Maluku Utara; dan mantan Walikota Medan, Sumatera Utara, Abdillah yang maju dari Nasdem untuk dapil Sumatera Utara I.
Juga ada Abdullah Puteh. Mantan Gubernur Aceh dari Golkar itu kini maju dari Nasdem untuk dapil Aceh II, serta mantan Walikota Medan Rahudman Harahap yang kini maju dari Nasdem untuk dapil Sumatera Utara I.

Rokhmin Dahuri juga tak mau ketinggalan. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini maju lewat PDIP dari dapil Jawa Barat VIII. Pun mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen (Purn) Susno Duadji yang maju dari PKB untuk dapil Sumatera Selatan II.

Untuk DPD RI, ada Ismeth Abdullah. Mantan Gubernur Kepulauan Riau ini maju dari Provinsi Kepri. Mantan Ketua DPD RI Irman Gusman yang pernah tersandung kasus suap impor gula kini juga maju lagi sebagai caleg DPD RI dari dapil Sumatera Barat.

Alasan Parpol

Lalu, apa alasan parpol-parpol mengajukan koruptor sebagai caleg Pemilu 2024?

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, Senin (28/8/2023), berdalih, pihaknya telah menyeleksi dan mempertimbangkan secara seksama para caleg PDIP yang didaftarkan ke KPU. Mereka yang memang di masa lalu punya persoalan hukum, katanya, dengan menjalani keputusan pengadilan di lembaga pemasyarakatan, berarti sudah diproses menjadi rakyat Indonesia yang baik, yang sadar hukum.

Mereka, kata Hasto, telah membuktikan iktikad baik dengan menjalani hukumannya. Ia lalu mencontohkan Rokhmin Dahuri yang sempat tersangkut kasus korupsi dana nonbujeter Kementerian Kelautan dan Perikanan dan sudah dilakukan klarifikasi oleh PDIP. Hasto menilai, Rokhmin masih sangat diperlukan kontribusinya. Sebab, ia ahli di bidang maritim. Apalagi, katanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan Rokhmin saat itu tidak terlepas dari aspek politik.

Jadi, ada dua pertimbangan PDIP mengajukan caleg koruptor. Pertama, karena sudah melakukan “penebusan dosa” di penjara, dan kedua karena keahliannya masih dibutuhkan.

Dengan kata lain, setelah melakukan “penebusan dosa”, dan karena keahliannya masih dibutuhkan, Hasto memandang caleg koruptor itu bak pahlawan yang akan “menyelamatkan” partainya di Pemilu 2024. Mungkin saja mereka dijadikan “vote getter” (pengepul suara) karena popularitas dan sumber dananya yang cukup kuat.

Parpol-parpol lain pun diyakini punya alasan yang nyaris sama. Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid, misalanya, yang mengungkapkan alasan Susno Duadji diajukan sebagai caleg DPR RI di Pemilu 2024. Menurut Wakil Ketua MPR RI ini, Susno Duadji selaras dengan program PKB yang fokus mengurusi desa.

Mengapa para eks-koruptor bisa maju sebagai caleg? Pertama, karena regulasi. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mantan narapidana yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hanya perlu membuat keterangan pernah dipenjara sebagai syarat administratif pencalonan.

Kedua, karena hak asasi manusia (HAM). Hak untuk dipilih telah diatur dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Lalu, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Kemudian, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih. Pasal 43 ayat (1) UU HAM pada pokoknya menyatakan setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu.

Pun, Pasal 73 UU HAM yang mengatur soal pembatasan dan larangan hak serta kebebasan setiap warga negara, yang berbunyi, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”

Pernah dilarang

Pencalonan eks-koruptor sebagai anggota legislatif juga pernah menjadi polemik menjelang Pemilu 2019. Saat itu, dikutip dari sejumlah sumber, KPU melarang eks-koruptor mencalonkan diri sebagai peserta Pemilu 2019. Larangan itu diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

Regulasi koruptor mencalonkan diri di Pemilu 2019 itu pun digugat oleh sejumlah pihak, di antaranya para bekas narapidana korupsi. Akhirnya, PKPU No 20 Tahun 2018 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). MA menyatakan larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu. Putusan MA inilah yang juga menjadi salah satu pertimbangan KPU tidak melarang eks-koruptor mencalonkan diri di Pemilu 2024 nanti.

Kini, “pahlawan-pahlawan tipikor” itu sedang berbaris menuju Senayan. Ada yang akan datang untuk pertama kalinya, dan ada yang akan datang kembali untuk megambil kursi yang pernah didudukinya.

Pertanyaannya, tidak khawatirkah kita bahwa mereka akan menjadi “residivis” atau mengulangi perbuatan jahatnya ketika di Senayan?

Semua mafhum, koruptor-koruptor di Indonesia nyaris tak pernah ada yang kapok atau jera. Buktinya, ada koruptor yang sekeluar dari penjara lalu melakukan korupsi lagi. Mengapa? Karena hukuman bagi koruptor di Indonesia masih sangat ringan, sehingga tidak membuat mereka jera atau membuat calon koruptor lain terkena “shock therapy” (terapi kejut). Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, rata-rata hukuman koruptor di Indonesia cuma 3,5 tahun.

Kini, bola ada di tangan rakyat calon pemilih, apakah mau memilih koruptor ataukah memilih caleg berintegritas di Pemilu 2024. Orang pintar sangat banyak, tapi orang pintar yang berintegritas tidak terlalu banyak. Itulah!

Comment here