Politik

Ketika Para “Begawan” Turun Gunung, Gentingkah Indonesia

Editor: Karyudi Sutajah Putra

Jakarta, KABNews.id – Salah satu indikator sebuah gunung akan erupsi adalah turunnya harimau dari hutan di kawasan puncak. Kini, ketika para “begawan” keluar dari pertapaannya dan turun gunung, adakah yang genting dengan Indonesia?

Tokoh-tokoh senior bangsa itu, sebut saja “begawan” atau guru bangsa, antara lain Emil Salim, Goenawan Mohamad, Abdillah Toha, Bagir Manan menemui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfd Md, Kamis (26/8/2021) malam untuk memyampaikan kritik dan saran.

“Saya tahu para senior dan sahabat semua adalah orang-orang yang sikapnya jelas terhadap upaya perbaikan bangsa. Karena itu, saya ingin banyak mendengar tentang apa saja yang perlu menjadi catatan penting saya, baik terkait penegakan hukum, politik, maupun masalah keamanan, dan masalah-masalah lain yang mungkin perlu ditangani pemerintah” tulis Mahfud Md dalam keterangannya, seperti dikutip sejumlah media, termasuk Suara.com, Jumat (27/8/2021).

Menko Pelhukam Mahfud Md (Foto: Republika).

Para “begawan” itu berasal dari kalangan intelektual, mantan pejabat dan aktivis masyarakat sipil.

Mereka silih berganti memberikan masukan terkait kebijakan pemerintah khususnya dalam bidang politik, hukum dan keamanan.

Selain Menteri Lingkungan Hidup di Era Orde Baru, Emil Salim, wartawan senior Goenawan Mohamad, mantan anggota DPR RI Abdillah Toha, dan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) sekaligus mantan Ketua Dewan Pers, Mahfud berdialog dengan mantan Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto, ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, serta mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief dan Erry Riyana Hardjapamekas.

Ada pula mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus mantan Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh, pakar manajemen Rhenald Kasali, Halim Alamsyah, mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Nadirsyah Hosen, mantan Menteri Kehutanan Al Hilal Hamdi, Khairil Anwar Notodiputro, dan pakar hukum internasional dari UI Hikmahanto Juwana.

Beragam masukan serta pertanyaan pun dilemparkan oleh para “begawan” itu. Salah satunya dari Emil Salim yang mempertanyakan sikap pemerintah dalam merencanakan anggaran besar untuk persenjataan dan pemindahan ibu kota di tengah keuangan negara yang sedang mengalami tekanan berat.

“Saya berempati dengan Menteri Keuangan yang pusing kepala, tetapi banyak dari teman-teman kita di departemen kurang paham, bahwa pengeluaran menjadi terbatas sehingga berbagai pengeluaran seperti pembelian senjata, ibu kota negara dan macam-macam, berjalan seolah-olah keuangan itu tersedia banyak, padahal tidak. Ini bakal menyulitkan pengelolaan keuangan negara,” ujar Emil.

Sedangkan Abdillah Toha mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat. Dia mencontohkan sikap KPK yang “menendang” orang-orang berprestasi yang tidak memiliki pandangan yang sejalan dengan pimpinannya.

“Di periode kedua (kepemimpinan Presiden Joko Widodo, red) ini banyak hal yang menjadi tanda tanya besar. Saya ingin kasih contoh satu, KPK. Kita bingung orang-orang yang berprestasi luar biasa di KPK itu tetap diberhentikan, dan tidak ada tindak lanjut dari Presiden,” ujarnya.

Masukan lain juga disampaikan terkait penanganan pandemi Covid-19 yang disampaikan Kuntoro Mangkusubroto.

Menurutnya, hasil yang dicapai dalam penanganan pandemi sejauh ini cukup baik, namun tidak dilakukan secara sistematis melalui pendekatan organisasi yang benar.

“Cara kerja yang organized, yang sudah disiapkan pendahulu sebelumnya ditinggalkan, atas nama kecepatan. Bagus, tapi governance-nya tidak. Saat pandemi ini puncaknya, tidak ada satu organisasi yang permanen untuk menangani, padahal masalahnya makin serius. Akumulasi informasi yang menjadi pengetahuan, tidak akan terjadi kalau tidak ada organisasi,” ujar Kuntoro yang juga mantan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan itu.

Sementara Faisal Basri menyoroti beberapa persoalan hukum di bidang ekonomi. Menurutnya, ekonomi akan survive kalau penegakan hukumnya baik.

“Saya terkejut dengan misalnya dibebaskannya kewajiban membangun kebun untuk gula rafinasi, sehingga kita mendengar keluhan dari industri makanan minuman, mereka sangat terganggu. Di Jawa Timur, tidak ada pabrik yang memproduksi gula rafinasi, kita menunggu kehancuran pabrik gula nasional,” kritik Faisal.

Laode M Syarief juga menilai ada kecenderungan ruang publik menjadi menyempit dan sulit menyampaikan aspirasi ke pemerintah.

“Teman-teman yang seharusnya ada di pemerintahan, aksesnya mejadi sangat terbatas. Yang sering berkomunikasi dengan publik hanya Profesor Mahfud, yang lain tidak pernah membuka komunikasi. Dulu, kita bisa bersilaturahmi menyampaikan kalau merasa kurang nyaman terhadap suatu kebijakan,” ujarnya.

Setelah mendengarkan seluruh masukan, Mahfud Md lantas meresponsnya di akhir acara.

“Apa yang disampaikan, baik itu kritik, keluhan, atau masukan, pada umumnya senada, dan sebagian besar sudah diketahui pemerintah. Masalahnya sekarang, kita harus menemukan peta jalan untuk mengurai dan membenahi semua masalah itu, dan untuk itu kontribusi dari Bapak-bapak sangat diperlukan,” tandas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.

Comment here