Opini

Ketika Sepasang Sandal Saya Belum Halal

Oleh: Fataty Maulidiyah

Jakarta, KABNews.id – Beberapa waktu lalu saya melihat sebuah berita tentang perusahaan sandal merek Homyped mendapatkan sertitifikat halal dari MUI. Berlanjut cat tembok, kulkas, asbak, hijab Zoya, dan beberapa produk lainnya yang non-konsumsi. Hal ini tentu sedikit meresahkan saya.

Beberapa produk non-konsumsi (tidak dimakan, diminum, dan ditelan) yang mendapat sertifikat serta label halal resmi dari MUI tampak dalam salah satu foto tersebut seperti sedang melakukan sesi launching penerimaan label halal pada produk mereka, yakni sandal. Sejenak saya tertawa konyol. Tapi cuma sebentar.

Benarkah diperlukan label halal untuk semua produk? Apakah nantimya akan ada laptop halal, sprei halal, sepatu halal, ember halal, gayung halal, bros halal, sisir halal, bakiak halal, topi halal, peniti halal, belum lagi benda-benda stationary yang macamnya tak terhitung?

Apakah semua benda yang diproduksi manusia ini, baik yang dikonsumsi atau tidak harus dilabeli halal dari MUI? Di sinilah mulai perenungan kecil saya. Yang saya mulai dari, untuk apa MUI menerbitkan sertifikat dan label halal.

Maka saya langsung googling. Saya kutip dari sebuah situs MUI, di situ diuraikan bahwa tujuan pemberian sertifikat halal pada suatu produk adalah memberikan rasa aman dan nyaman bagi umat islam terhadap maraknya produk-produk makanan, minuman, obat atau kosmetik yang berbahan non halal, misalkan mengandung lemak atau minyak babi.

“Memberikan rasa aman, ketentraman batin dan menjamin kelayakan suatu produk untuk umat dan masyarakat pada umumnya baik layak dari segi kesehatan maupun dari segi agama, yakni kehalalannya. Semua itu merupakan tujuan mengapa harus ada Sertifikasi Halal MUI.”

Dari keterangan di atas, tampak jelas pada mulanya Sertifikat Halal MUI ditujukan pada produk yang dikonsumsi, seperti makanan, minuman, obat, dan kosmetik. Dan hal tersebut menjadi sesuatu yang lumrah saya jumpai bertahun-tahun. Seperti sarden, kornet, sosis, aneka frozen food, dan obat-obatan.

Di luar negeri pun pelayanan bagi konsumen muslim dilakukan. Dalam sebuah tayangan Youtube pernah saya lihat bagaimana negara Barat memproses kornet, di mana hewan tidak disembelih secara halal menurut Islam. Dan dalam tayangan lain saya melihat sebuah pabrik besar pengolahan daging di Australia, menyediakan daging halal, di mana yang mengendalikan mesin “jagal” ini adalah seorang muslim dari Malaysia.

Untuk meyakinkan konsumen muslim, ditayangkan pula seorang muslim itu melaksanakan salat lima waktu di sebuah ruangan dekat dia mengoperasikan mesin-mesin itu. Setelah itu produk daging tersebut di beri label “halal”. Dalam tayangan lain tentang dapur Hotel Marina Bay Singapore, yang belum pernah saya kunjungi, dokumenter NatGeo People meliput dapur hotel tersebut yang ternyata memiliki dapur khusus masakan halal.

Produk, bahan, dan cara pengelolaaannya dilakukan secara halal, begitu penjelasan kepala chef ketika diwawancarai. Tempat penyajiannya pun beda lokasi dengan yang non-halal. Menurut keterangan kepala chef, pengelolaan makanan halal ini tidak akan ada lemak babi, gelatin, anggur, arak atau apapun yang haram menurut Islam.

Di situ saya merasa pelayanan makanan halal terasa sangat logis. Umat Islam yang benar-benar memperhatikan kenyamanan hati memiliki hak mengetahui hal-hal yang belum atau sudah jelas kehalalannya berkaitan dengan apa yang “masuk dalam tubuh mereka”, maka dari itu umumnya label “halal” disematkan pada makanan, minuman, obat-obatan serta kosmetik.

Tak hanya masalah kenyamanan dan ketenteraman. Dalam ajaran islam mengkonsumsi makanan yang halal adalah perintah Tuhan. Yang jelas saya tidak mungkin menafsiri ayat tersebut sebab saya bukan ahli tafsir, namun ayat tersebut menunjukkan tentang adanya perintah Tuhan pada manusia untuk mencari dan memakan makanan yang halal dan baik.
Dalam sebuah buku agama, saya pernah membaca tentang makna halal. Ada beberapa lingkup. Pertama, halal dzatnya, yaitu bukan kategori jenis makanan yang diharamkan dalam Alquran maupun hadits. Kedua, halal cara mengelolanya atau menyembelihnya. Ketiga, halal dari cara mendapatkannya.

Sedangkan maksud makanan yang baik (thoyyiban) adalah makanan yang bergizi, bersih ( higienis), dan tidak membahayakan tubuh. Maka itu bagi umat islam, penting untuk mendapatkan dan mengkonsumsi makanan yang halal dan baik. Makanan yang halal akan menghasilkan akhlak yang baik, sedangkan makanan yang baik menghasilkan tubuh yang sehat. Begitu saya kutip dari hikmah memakan makanan yang halal dan baik.
Jadi menurut hemat saya, label halal memang berkaitan erat dengan kenyamanan dan ketentraman hati para konsumen, agar tidak khawatir, was-was atas produk yang mereka pakai atau mereka konsumsi. Jika kita merasa nyaman, tidak khawatir dan yakin bahwa apa yang kita konsumsi sehari-hari adalah halal, meskipun tidak memiliki label halal adalah tidak jadi permasalahan. Label halal mungkin lebih dibutuhkan oleh sang produsen makanan, obat, dan kosmetik.

Namun, hal yang menjadikan saya merasa tergelitik, mengapa produsen barang-barang elektronik, alat rumah tangga, ikut-ikutan merasa wajib mengajukan sertifikasi halal? Apakah ada masyarakat yang tidak nyaman menggunakan laptop, kulkas, sandal, dan benda-benda lain yang tidak disebut Alquran dan hadits sebagai hal yang haram dzatnya?

Dalam kehidupan sehari-hari yang saya temui dan saya jalani, semua tampak baik-baik saja berkutat dengan benda-benda tanpa label halal. Mebel, pesawat tivi, smartphone, sepatu, baju, dan masih banyak lagi. Saya hanya khawatir, label halal bukan lagi keperluan konsumen, tetapi justru menjadi kebutuhan produsen untuk meyakinkan atau hanya sebagai strategi marketing dan tren saja. Atau pemaksaan MUI pada suatu perusahaan tertentu.

Demikian juga golongan masyarakat yang memang benar-benar menuntut kejelasan status atas benda-benda yang dibelinya. Ia mungkin belum memahami hakikat istilah halal dan thoyyiban yang disebut dalam Alquran dan hadits sehingga benda-benda, jenis makanan, maupun minuman yang tidak disebutkan dalam Alquran sebagai kelompok yang haram harus diteliti dan diberi label halal.

Saya menekuri sepasang sandal saya yang tidak memiliki merek. Tidak pula memiliki label halal. Saya merasa baik-baik saja. Dengan sandal ini saya ke pasar, ke masjid, pergi ke pengajian, mengantar anak belajar mengaji, dan sebagainya. Saya tidak merisaukan status sandal saya. Saya hanya merisaukan ke mana kaki saya akan melangkah. Apakah selalu tergerak menuju kebatilan ataukah menuju kebaikan.

Fataty Maulidiyah, guru PAI, tinggal di Mojokerto, Jawa Timur.

(Dikutip dari detik.com, Rabu 23 Maret 2022.)

Comment here