Opini

Kita Semua adalah Firaun

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media

Jakarta, KABNews.id – “MAKJLEB! Tere Liye Tanggapi 3 Serangkai Firaun, Haman, Qarun dan Para Penjilatnya”.

Demikian judul sebuah artikel di Portal Islam, Rabu (18/1/2023), yang konon ditulis Tere Liye, seorang penulis yang lumayan terkenal itu.

“Kita tahu Firaun, Haman dan Qarun itu jahat kapan? Kita tahu setelah semua kejadian selesai. Tuntas. Dan Tuhan memberitakannya di dalam kitab suci. Saat itulah kita tahu, sepakat bulat, 100%, bahwa 3 serangkai ini jahat. Tapi apakah saat 3 serangkai ini hidup, orang-orang pada tahu? Wah, wah, rakyat Mesir saat 3 serangkai ini hidup, mereka adalah pemuja, pendukung setia. Firaun adalah simbol kemajuan peradaban saat itu. Hanya hitungan jari saja di era itu yang menyadari jika Firaun ini sejatinya jahat,” tulis artikel yang konon karya Tere Liye itu.

“Boleh jadi di awal-awal, tiga serangkai ini baik sekali orangnya. Cinta dan sayang dengan rakyatnya. Dermawan, bersahaja, suka ngasih bantuan, dan sebagainya. Lantas kekuasaan, harta, disanjung-sanjung oleh para penjilat, oportunis, dielu-elukan, membuat mereka semakin lama mulai berubah. Merasa jadi Tuhan. Coba lihat faktanya, Firaun itu merawat Nabi Musa, loh? Coba, kurang baik apa? Dan Tuhan, bahkan menyuruh Musa lemah lembut bicara dengan Firaun. Apa coba sebabnya?” lanjut artikel itu.

Patung Firaun. (Foto: Bisnis.com)

“Kita sepakat 100% Firaun, Haman, Qarun itu jahat, setelah semua selesai, tuntas. Jika kita hidup di zaman itu, boleh jadi, kitalah penjilat nomor satu bagi mereka. Berebut pengin jadi ring 1 mereka. Sungguh, kita semua boleh jadi adalah Firaun, Haman dan Qarun. Karena kita juga baru tahu apakah kita itu baik atau jahat nanti, saat semua telah tuntas. Kelak di akhirat,” lanjut artikel itu lagi.

Sudah bisa ditebak, artikel tersebut meng-“endorse” (mendukung) pernyataan kontroversial Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun. Dalam salah satu ceramah yang rekaman videonya kemudian viral di media sosial, budayawan sekaligus cendekiawan Muslim asal Jombang, Jawa Timur, itu menyatakan, “Hasil pemilu mencerminkan tingkat kedewasaan dan tidak rakyatnya. Bahkan juga algoritma Pemilu 2024. Kan, enggak mungkin menang, karena Indonesia dikuasai oleh Firaun yang namanya Jokowi, oleh Qarun yang namanya Anthony Salim dan 10 naga, terus Haman yang namanya Luhut (Binsar Pandjaitan).”

Lalu siapa itu Firaun? Dikutip dari Kompas.com, Jumat (20/1/2022), Firaun merupakan gelar yang digunakan oleh para raja dan ratu yang pernah memerintah Mesir Kuno. Dalam sejarah peradaban Mesir Kuno yang berjalan sekitar 3.000 tahun, didapati lebih dari 100 penguasa Mesir yang bergelar Firaun. Kerajaan Mesir Kuno sendiri berdiri ribuan tahun, sejak 3150 SM hingga 31 SM.

Dalam Al Quran, nama Firaun disebut lebih dari 70 kali dan dikenal sebagai tokoh yang memerangi Nabi Musa. Firaun digambarkan sebagai penguasa Mesir Kuno yang memiliki angkatan bersenjata sangat tangguh, tetapi zalim terhadap kaum lemah, terutama Bani Israil, dan menganggap dirinya sebagai Tuhan.

Firaun berkata, “Aku adalah rabb (tuhan) kalian yang paling tinggi.” (QS An-Naziat: 24).

Al Quran menceritakan Firaun tenggelam di Laut Merah bersama pasukannya ketika mengejar Nabi Musa. Namun, Al Quran tidak menyebut secara spesifik nama dari Firaun yang hidup bersamaan dengan Nabi Musa itu.

Terkait siapakah Firaun dalam Al Quran, para ulama dan ahli sejarah masih memperdebatkannya. Namun, mayoritas cenderung meyakini bahwa Firaun yang hidup pada zaman Nabi Musa adalah Ramses II.

Ramses II dikenal sebagai salah satu Firaun paling kuat dan berpengaruh dalam sejarah Mesir Kuno. Selama 66 tahun pemerintahannya, Ramses II memiliki angkatan perang yang sangat kuat, mendirikan banyak monumen, dan meninggalkan prasasti-prasasti.

Adapun Haman adalah perdana menterinya Firaun, sedangkan Qarun adalah pengusaha yang dekat dengan Firaun. Qarun kaya-raya tapi sangat kikir. Qarun beserta harta bendanya dikisahkan terkubur hidup-hidup ditelan bumi, sehingga sampai sekarang kita mengenal istilah “harta karun”.

Logika Menyesatkan

Kita memang merasa “makjleb” membaca artikel yang konon ditulis Tere Liye, meskipun dari diksi, gaya bahasa dan substansinya penulis sendiri tidak yakin itu tulisan Tere Liye.

Mengapa “makjleb”? Sebab kalau kita mengikuti logika tulisan yang konon karya Tere Liye itu, ternyata kita semua ini adalah Firaun, Haman atau Qarun. Kita diasumsikan seperti itu. Baru diketahui bahwa kita bukan Firaun, Haman atau Qarun setelah kita mati dan di akhirat nanti.

Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan syahadat, salat, zakat, puasa, haji (bagi yang Muslim) dan amal saleh atau perbuatan baik kita, apakah semua itu tidak cukup menjadi indikator bahwa kita bukan Firaun, Haman atau Qarun yang jahat?

Selama kita masih hidup di dunia ini, sebelum kita mati dan akhirnya berpindah ke akhirat nanti, jika kita mengikuti logika tulisan yang konon karya Tere Liye itu, berarti kita semua ini diasumsikan sebagai Firaun, Haman atau Qarun sampai kemudian di akhirat nanti terbukti bahwa kita bukan salah seorang dari tiga serangkai itu. Apakah benar demikian?

Jika benar, berarti di dunia ini tidak ada orang baik, yang ada hanya orang jahat seperti Firaun, Haman atau Qarun, atau paling tidak diasumsikan seperti Firaun, Haman atau Qarun yang jahat, sampai kemudian di akhirat nanti terbukti sebaliknya. Tapi itu hanya bisa dibuktikan setelah dunia ini tamat. Sepanjang belum tamat, tidak ada orang baik di muka bumi ini.

Lalu apa artinya jika ada di antara kita (Muslim) yang mati, orang-orang yang bertakziyah (melayat) memberi kesaksian dengan menyatakan, “khoir” (baik) yang artinya seseorang yang meninggal itu adalah orang yang baik, tidak jahat seperti Firaun, Haman atau Qarun?

Apa artinya pula doa semoga “husnul khatimah” (akhir yang baik) yang kita ucapkan ketika ada orang (Muslim) meninggal dunia, kalau sebelum sampai ke akhirat nanti orang tersebut diasumsikan sebagai Firaun, Haman atau Qarun?

Semoga artikel yang konon karya Tere Liye itu bukan benar-benar karya penulis yang kerap menginspirasi penulis itu. Sebab secara logika akal sehat, logika dalam artikel itu bisa menyesatkan. Itu bukan tipikal Tere Liye.

Apalagi Cak Nun pun sudah mengakui ucapannya salah, dengan meminta maaf kepada pihak-pihak yang merasa “terciprat”, meskipun ia tetap mencari “alibi” dengan mengklaim dirinya sedang “kesambet” saat mengucapkan itu.

Mari berpikir (dan beragama) dengan akal sehat. “Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.” (QS Al-Maidah: 8).

Comment here