Oleh: Ai Maryati Solihah
Jakarta, KABNews.id – Berbagai kasus kekerasan seksual yang menghantui anak Indonesia sangat memprihatinkan. Dalam data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) setidaknya dalam 3 tahun terakhir posisinya selalu menjadi top three dalam data puncak pelanggaran hak anak.
Menurut KPAI di tahun 2022 pengaduan kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak mencapai 834 kasus baik secara langsung maupun tidak langsung. Aduan tertinggi berasal dari jenis anak sebagai korban pencabulan sebanyak 400 kasus, lalu diikuti oleh aduan anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan sebanyak 395 kasus, anak sebagai korban pencabulan sesama jenis 25 kasus dan anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan sesama jenis sebanyak 14 kasus.
Sedangkan dalam sistem informasi online kekerasan perempuan dan anak /Simfoni PPA KemenPPA RI, terkait kekerasan seksual terhadap anak hingga pertengahan tahun 2022 saja pengaduan anak korban kekerasan seksual mencapai 4.718 kasus, sedangkan sepanjang tahun 2021 mencapai 7.545 kasus.
Beragam penyebab kekerasan seksual terhadap anak
Faktor penyebab kekerasan seksual sangat beragam, pertama kuatnya relasi kuasa, antara pelaku dan korban yang notabene harusnya orang yang melindungi mereka namun malah sebaliknya justru menjadi orang yang dapat leluasa melakukan aksi KS terhadap anak. Relasi kuasa bukan hanya dilakukan oleh anggota keluarga terdekat, praktik inses (hubungan sedarah), maupun mereka yang menjadi orang tua sambung dan keluarga jauh, namun oleh orang-orang yang sangat kuat pengaruhnya, seperti seseorang yang seharusnya menjadi panutan, yakni Guru di berbagai Lembaga Pendidikan.
Relasi kuasa dimanfaatkan pada kejahatan seksual menjadi syarat akan diberikan nilai mata pelajaran di dalam dunia Pendidikan, perintah menjadi murid yang harus taat pada guru, bahkan iming-iming agama “jika ingin menjadi anak soleh”, “harus praktik ruqiyah” untuk mencapai derajat keilmuan tertentu. Praktik sodomi pada anak kerap diiringi nuasa iming-iming ilmu yang dianggap kesaktian dengan syarat mau melakukannya.
Kedua, dalam beragam kasus, gang rape atau kekerasan seksual dilakukan oleh banyak orang juga terjadi, mereka bergerombol terdiri dari orang dewasa yang dipengaruhi minuman keras, napza dan konten pornografi. Ironinya dalam beberapa kasus, dilakukan oleh anak-anak kepada anak yang disebabkan ia pernah melihat pornografi melalui media online. Maraknya konten pornografi, kekerasan, maupun konten negative lainnya sangat berpengaruh terhadap potensi meniru anak yang sangat ulung, sehingga kerap tidak mampu menahannya dan melampiaskan pada anak di bawah usianya yang juga secara relasi kuasa lebih lemah.
Ketiga, faktor ancaman, kekerasan dan intimidasi terhadap anak. Anak menjadi sasaran bagi sekelompok orang maupun individu dalam menyalurkan kejahatan seksual melalui tindakan kekerasan. Beberapa diantaranya ancaman pada anak itu sendiri, maupun mengancam orang terdekat anak, sehingga mau tidak mau situasi sulit itu dituruti anak.
Keempat, bujuk rayu dan iming-iming materi, sekedar uang mulai 2000 hingga ratusan ribu. Pada anak yang belum mengerti situasi bahwa itu dilakukan untuk menjalankan aktivitas seks, anak malah mengangap bahwa hal itu bagian dari “kasih sayang” seseorang yang ia terima dan kemudian ia pun melakukan apa yang diminta pelaku.
Kelima, kekerasan seksual untuk eksploitasi ekonomi, dengan merekrut anak-anak usia ABG menjadi bagian bisnis protistusi. Setidaknya pada tahun 2022 eksploitasi seksual terhadap anak yang berbarengan dengan eksploitasi ekonomi mencapai 85 kasus dengan angka tertinggi anak korban prostitusi secara berjejring maupun non jejaring.
Pada praktiknya anak korban ditarget oleh mucikari harus melayani hidung belang 15-20 kali dalam sehari. Hal ini bukan hanya kejahatan secara seksual melainkan praktik perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual dan/ekonomi, dimana anak menjadi kelompok rentan yang diajak, diiming-iming bujuk rayu pekerjaan bergaji tinggi, bahkan memanfaatkan anak yang dalam situasi broken home, dililit kemiskinan atau mengalami drop out dalam sekolah.
Menyikapi paska darurat kekerasan seksual
Masih terngiang bagaimana tahun 2016 Presiden Jokowi menempatkan darurat kekerasan seksual dengan memberikan dukungan politik dan yuridis pada Perppu yang menjadi revisi Undang-Undang Perlindungan Anak ke-2, yakni UU No 17/2016 tentang Perlindungan Anak. Revisi difokuskan mengenai pemberatan hukuman bagi pelaku dengan syarat-syarat tertentu, terlebih pelaku orang tua, Guru dan keluarga serta aparat negara. Hal itu sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap relasi kuasa yang kerap menjadi jargon utama yang menjebol praktik KS terhadap anak. Namun komitmen tersebut tetap perlu diimbangi oleh penguatan-penguatan berbagai dimensi; pengasuhan keluarga, pranata sosial budaya yang melindungi anak, komitmen regulasi pencegahan dan penenanganan kekerasan seksual serta pengawasannya. Pelaporan yang terus menggunung apakah dapat dikatakan darurat kekerasan seksual terhadap anak jilid 2?, untuk itu situasi ini perlu disikapi oleh langkah-langkah yang penuh terobosan dan inovasi.
Saat ini, pembangunan jangka menengah pemerintah dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing dituangkan pada arahan Presiden di bidang perlindungan anak, menyasar kualitas pengasuhan, menekan angka kekerasan termasuk kekerasan seksual dan eksploitasi, pencegahan dan penanganan perkawinan anak serta penurunan pekerja anak.
Prioritas Kementerian PP dan PA sebagai leading sektor PA memprioritaskan (1) aksi pencegahan kekerasan pada anak yang melibatkan, anak, sekolah dan masyarakat (2) memperbaiki sistem pelaporan dan layanan pengaduan terjadinya kekerasan terhadap anak (3) melakukan reformasi bensar-besaran padamanagemen penanganan kasus kekerasan terhadap anak, agar dilakukan percepatan, terintegrasi dan komprehenshif.
Untuk itu, persoalan kekerasan seksual yang sejatinya menjadi prioritas dan target utama terselenggaranya perlindungan anak segera mendapat perhatian serius multi pihak dalam kerangka menekan dan menghapus terjadinya kekerasan seksual. Berbagai startegi dan pengembangan yang penting saat ini dilakukan diantaranya pertama, pada aspek hulu, pengasuhan menjadi benteng utama anak terhindar, untuk mengerti situasi dan kondisi serta edukasi awal ia menemukenali ancaman kekerasan seksual berada di sekitarnya. Pengenalan anggota tubuh, tubuh mana yang boleh dan tidak diakses orang lain, fungsi-fungsi organ tubuh, menjaga organ tubuh dan apa resiko-resikonya jika digunakan tidak pada fungsinya. Tentu saja orang tua dan anggota keluarga terdekat diwajibkan memberikan edukasi dini tersebut, selain diperkuat oleh aspek proses belajar mengajar di sekolah oleh guru dan integrasi dalam materi pembelajaran. Sehingga anak memahami, menjaga dan melindungi organ tubuh dan reproduksinya secara teredukasi.
Penggunaan literasi digital dan iklan layanan masyarakat untuk orang tua penting digalakkan dan sampai pada masyarakat untuk membangun percepatan edukasi tersebut. Konten-konten positif dan layanan KIE (komunikasi informasi dan edukasi) selain secara konvensional, penting meningkatkan strategi pada memanfaatkan seluruh instrument teknologi, melalui media massa maupun media sosial secara massif dan terstruktur.
Kedua, sex education yang kerap dituding belum menjadi edukasi masif di lembaga Pendidikan dan masyarakat perlu mapping kewilayahan atas situasi mutakhir teradukannya kejahatan seksual pada berbagai Lembaga perlindungan anak. Dalam catatan tahun 2022 KPAI merilis provinsi yang paling banyak teradukan kasus anak korban kekerasan seksual adalah Jawa Barat sebanyak 108 pengaduan kasus, DKI Jakarta sebanyak 56 kasus dan Provinsi Jawa Timur sebanyak 39 kasus. Ini menjadi perhatian serius peran pemerintah daerah sampai dengan tingkat Kota/Kabupaten, Kecamatan dan Desa untuk menggalakan edukasi melawan Kejahatan seksual. Peningkatan edukasi public, penguatan sekolah didalamnya pendidik dan tenaga kependidikan, serta kapasitasi anak-anak dalam memerangi kejahatan seksual sangat dibutuhkan.
Hadirnya hajatan nasional berupa kota/kabupaten layak anak (KLA) memberi dampak signifikan pada percepatan mainstreaming dan regulasi ramah anak di daerah, meski tantangannya terus perlu pembenahan menyangkuy pemahaman dan komitmen seluruh pemangku kepentingan perlindungan anak, sistem data dan informasi anak di daerah, layanan perlindungan anak dalam penjangkauan, koordinasi multi pihak dalam perlindungan anak, serta penguatan bekerja dalam sistem yang dilaksanakan bersama.
Ketiga, pada aspek regulasi, hadirnya komitmen pemerintah dalam pencegahan dan penanganan KS juga telah melahirkan Undang-Undang No 12/2022 tentang TPKS. Pada pasal 79, penguatan pada aspek pencegahan dilakukan melalui bidang pendidikan; sarana dan prasarana publik; , pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; ekonomi dan ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial; budaya; teknologi informatika; keagamaan; dan Keluarga. Selain itu penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual dilakukan dengan memperhatikan (a) situasi konflik; (b). bencana; (c). letak geografis wilayah; dan (d). situasi khusus lainnya. Dan amanah yang sangat penting, pencegahan tindak pidana kekerasan seksual dilakukan pada (a). panti sosial; (b). satuan pendidikan; dan (c). tempat lain yang berpotensi terjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Stressing ini membutuhkan implementasi yang terencana, terukur dan capaian-capaian yang lebih optimal.
Dalam konteks penanganan KS, pada pasal 1 dikatakan penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Untuk itu, penyelenggara perlindungan anak, baik layanan rehabilitasi social, dan pendampingan memberikan dukungan pemulihan dan pemenuhan pada hak korban dengan memberikan kepastian korban terlindungi dan tertangani. Ruang lingkup penanganan memberikan tantangan untuk korban mendapatkan layanan pada tahapan penerimaan Pelaporan; tahapan Penyelidikan dan Penyidikan; tahapan Penuntutan; tahapan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan; pelaksanaan pelindungan saksi dan/ korban; pelaksanaan pendampingan korban dan saksi; pemenuhan hak atas Penanganan, Pelindungan dan Pemulihan terhadap saksi, korban, keluarga korban; pasca putusan pengadilan; dan Restitusi dan Kompensasi. Hal ini mendorong infrastruktur layanan merata diberbagai wilayah sejalan dengan SDM dan penyediaan layanan itu sendiri.
Keempat, pada aspek penegakkan hukum, hadirnya pemberatan hukuman pokok dan hadirnya hukuman tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual anak pada revisi ke-3 Undang-Undang Perlindungan Anak mengandung amanah bahwa seluruh aparat penegak hukum harus berupaya keras memberikan perlindungan hukum berbasis keadilan pada korban seraya membangun efek jera pada pelaku. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan mengenakan maksimum 15 tahun penjara bagi pelaku KS terhadap anak terlalu ringan bila dibandingkan dengan penderitaan yang anak alami seumur hidupnya. Namun, komitmen saja ternyata tidak cukup, penegakkan hukum harus terus dilakukan untuk menguatkan komitmen tersebut dalam perilaku dan budaya hukum yang harus terus disuarakan. Pengetahuan dan pemahaman APH harus terus dikuatkan sehingga setara pada aspek perspektif, profesionalitas dan “law enforcement”.
Kelima, pengawasan efektif. Hal ini bertujuan mengikis gap kebijakan, pencegahan dan penanganan terutama penegakkan hukum yang harus terus dilakukan monitoring dan evaluasi, serta advokasi sehingga ketimpangan tersebut segera diperbaiki. sesuai mandate Undang-Undang TPKS, pemantauan terhadap UU TPKS dilakukan oleh seluruh Lembaga HAM di Indonesia seperti Komnas HAM, KPAI, Komnas Perempuan dan KND (Komisi Nasional Disabilitas) yang memiliki peran penting dalam memastikan penyelenggaraan pencegahan dan penanganan oleh pemerintah.
Hal ini memastikan bahwa perlindungan terhadap anak dari Tindakan kejahatan seksual merupakan perlindungan hak dasar, yang menjadi bagian hak azazi manusia yang harus dilindungi, dipenuhi dan dimajukan. Beberapa isu krusial mengenai pengawasan adalah penguatan aspek regulasi, mengikis gap penyelenggaraan pencegahan dan penanganan KS melalui sistem dan dan kasus, serta partisipasi public yang harus dikelola dalam menjaga sinergi dan kerjasama dengan masyarakat.
Pada konteks memajukan hak anak, Anak berkonflik dengan hukum merupakan tantangan yang harus betul-betul dijawab untuk menjaga perlindungan hak anak demi kepentingan terbaik bagi anak. Situasi anak berkonflik hukum, dimana mereka menjadi pelaku atas Tindakan KS harus tetap menggunakan perspektif hak anak dengan mengetengahkan proses hukum yang berkeadilan dan proporsional.
Tujuan perlindungan anak adalah menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Dalam Undang-Undang No 11/12 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum , mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif dan mengupayakan diversi, yakni dilakukan melalui musyawarah, dengan melibatkan Anak, orang tua/walinya. Korban dan / atau orang tua/ walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial berdasarkan keadilan restoratif.
Keadilan restoratif menekankan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Usia pertanggung jawaban pidana Anak sekurang-kurangnya 12 tahun. Batasan usia anak yang bisa dikenakan penahanan sekurang-kurangnya 14 tahun dan batas usia anak yang dapat dijatuhi pidana adalah sekurang-kuarangnya 14 tahun. Secara singkat anak usia 12-18 tahun dengan ancaman hukuman kurang dibawah 7 tahun dan pertama kali melakukan Tindakan pidana maka tetap diupayakan diversi. Sedangkan apabila ancaman hukumannya 7 tahun atau lebih dan bahkan pernah melakukan tindak pidanan maka akan melakukan proses hukum secara formal.
Terakhir, peran pemerintah dan masyarakat mendaknya bersatu berkomitmen mengikis kendala kultural yang menghambat perlindungan anak. Perbedaan cara pandang dan pemikiran mengenai urgensi perlindungan anak oleh setiap individu maupun kelompok dan menjadi sumber kepercayaan adakalanya bahkan sering kali berlawanan dengan semangat ramah anak, misalnya seks educations masih dianggap tabu, pelaporan kekerasan seksual masih dianggap aib, menjadi aib keluarga dan lingkungan pendidikan sehingga dibiarkan dan ditutupi, hendaknya mulai dikikis untuk kepentingan terbaik anak dan penegakkan hukum, sehingga budaya pelaporan dan edukasi menjadi utama. Kebutuhan literasi budaya ramah anak, penafsiran agama ramah anak dan inklusifitas kebinekaan yang memberikan penguatan mainstreaming perlindungan anak merupakan ideologisasi nilai yang harus dikembangkan, dalam pengasuhan, nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan.
Ai Maryati Solihah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Dikutip dari detik.com, Minggu 22 Januari 2023.
Comment here