Oleh: Andi Saputra
Jakarta, KABNews.id – APBN yang dipungut dari peluh dan keringat rakyat haruslah dikembalikan lagi ke rakyat dalam bentuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur hingga fasilitas publik lainnya. Hal itu sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yaitu pemerintah negara Indonesia bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan penguasa.
Publik kembali dikejutkan dengan alokasi APBN untuk perbaikan ruang kerja Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebesar Rp 6,1 miliar. Padahal, benak publik belum selesai kekagetannya dengan rencana ganti gorden rumah dinas DPR yang mencapai Rp 43 miliar. Termasuk pula proyek karpet Ketua Mahkamah Agung (MA) yang nyaris menyentuh angka Rp 1 miliar beberapa waktu lalu.
Hilangnya Budaya Sederhana Penguasa
Kekuasaan dan kemewahan mewarnai lintas rezim, seperti Kerajaan Prancis pada abad ke-18. Salah satu ikonnya adalah Permaisuri Louis XVI, Marie Antoinette. Gaya hedonnya menjadi bensin yang membakar dan memprovokasi rakyat menggaungkan Revolusi Prancis untuk menggulingkan monarki pada Agustus 1792. Marie Antoinette adalah salah satu contoh gelap buruknya kerajaan di Eropa pada masanya.
Meski monarki tumbang, kekuasaan dan kemewahan tidak hilang. Kini budaya sederhana penguasa seakan hanya hadir sekali dalam lima tahun. Berbalut kampanye, mereka tiba-tiba berbelanja di pasar tradisional. Ada pula yang mendadak menjadi tukang becak atau kernet. Banyak politikus muncul di kantong-kantong masyarakat miskin. Incognito penguasa menjadi sinetron manis lima tahunan.
Setelah pemilu selesai, kemiskinan itu tinggal cerita. Mobil mewah dibeli untuk pejabat negara, rumah dinas buru-burun direnovasi. Padahal, bisa jadi masih layak pakai. Malah ada lembaga negara yang ribut rotasi jabatan per tahun, salah satunya untuk memperebutkan fasilitas mobil dinas. Di sisi lain, masih banyak kebijakan publik yang perlu suntikan anggaran serius.
Indonesia punya cermin kesederhanaan seorang Ketua MA 1952-1966, Wirjono Projodukoro. Jangankan menerima suap, selaku pejabat tinggi negara, ia menolak mobil dinas dan memilih naik sepeda onthel ke kantornya di kawasan Lapangan Banteng kala itu.
Kesederhanaan Kapolri Jenderal Hoegeng pun patut diteladani bersama. Salah satunya Hoegeng menolak mobil jenis Holden keluaran terbaru tahun 1965 yang diperuntukkan untuk keluarganya. Hoegeng juga menolak menerima hadiah mobil Mazda dari Dasaad Musin Concern, perusahaan pemegang lisensi beberapa merek mobil Eropa dan Jepang Saat Hoegeng menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet.
Isu kesederhanaan pula yang menjadi salah satu alasan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson harus mundur dari posisinya. Gaya hidup mewahnya tidak diterima publik Inggris, meski negara itu adalah salah satu negara terkaya di dunia. Gaya hidup foya-foya Presiden Sri Lanka, Rajpaksa pula yang membuat rakyatnya menduduki Istana sehingga Rajapaksa tumbang dan kabur ke Singapura.
Pada awal kepemimpinan Jokowi, muncul kebijakan larangan rapat di hotel mewah dan kudapan harus menggunakan makanan lokal seperti singkong, ubi atau kacang rebus. Kesederhanaan dan penghematan anggaran negara. Namun seiring waktu, kebijakan itu perlahan hilang dan kembali seperti semula.
Dalam narasi yang lebih besar, akhirnya wajar banyak yang mempertanyakan politik anggaran dengan memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara, Kalimantan. Di saat keuangan terseok-seok akibat perlambatan karena pandemi Covid-19, pemerintah dengan penuh ambisi mengesahkan RUU IKN menjadi UU.
Bisa jadi memindahkan pusat pemerintahan menjadi bagian dari kebebasan kebijakan eksekutif mengatur negara, bukan soal konstitusionalitas. Argumen pun disusun. Demi menggeser pendulum ekonomi yang selama ini terpusat di Jawa ke Kalimantan/Indonesia timur, umpamanya.
Tapi memindahkan IKN bukanlah seperti memindahkan rumah yang berisi satu keluarga yang berisi lima orang atau delapan anggota keluarga. Memindahkan IKN adalah memindahkan kapal besar kebangsaan, yang akan berdampak pada nasib seratusan juta orang. Keberhasilannya pun masih menjadi perdebatan layaknya mengundi dadu, salah satunya karena situasi ekonomi dunia yang makin hari makin tidak tentu.
Redefinisi Ruang Kerja
Dalam dunia yang telah berubah, ruang kerja bukan lagi menjadi ruang kursi megah dengan panji-panji kemewahannya. Seperti kesederhanaan ruang kerja Megawati di Kantor DPP PDI Perjuangan, Lenteng Agung. Hanya ada sebuah meja besar dari kayu dan kursi duduk yang nyaman serta foto keluarga.
Ruang kerja kini berubah menjadi tempat komunikasi tanpa sekat untuk diskusi bersama. Pembuatan kebijakan bisa diambil di mana saja, rapat bisa dilakukan di kereta api atau bus. Bahkan Presiden Jokowi memberikan contoh menandatangani surat dengan meminjam punggung ajudannya sebagai meja. Pandemi juga membuat pola kerja baru yaitu rapat lewat Zoom hingga sidang pengadilan.
Apalagi para anggota Dewan Pengarah BRIN bersifat ad hoc dan tidak ngantor setiap hari. Dengan jabatan seabrek, Dewan Pengarah akan banyak kegiatan di berbagai tempat dalam sepekan. Ada yang harus ngantor di Kantor Badan Negara, di Kementerian, atau di kantor asal.
Dari berbagai kasus tersebut, saya meyakini bahwa para Dewan Pengarah BRIN tidak mengetahui adanya anggaran fasilitas mewah ruang kerjanya. Tentunya para Dewan Pengarah BRIN tidak terlibat dalam memesan merek mebel dan menentukan renovasi kantor karena semua menggunakan LPSE secara online dan terbuka.
Munculnya angka tersebut bisa jadi lebih karena kelaziman birokrasi yang masih berbudaya tuan, bukan pelayan, akibat matinya empati di lingkar penguasa. Hal itu lazim dilakukan oleh kesekretariatan rumah tangga lembaga dengan alasan mengikuti standar pagu anggaran atau gagalnya birokrasi menerjemahkan kebijakan politik anggaran negara.
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya untuk menunda rencana renovasi ruang kantor. Toh tidak tiap hari para Dewan Pengarah BRIN ngantor di BRIN dan masih bisa menggunakan ruangan yang ada.
Andi Saputra, S.H, M.H editor hukum detikcom, peraih Konstitusi Award 2021.
Dikutip dari detik.com, Senin 18 Juli 2022.
Comment here