Oleh: Moch Kosim
Jakarta, KABNews.id – Gonjang ganjing akibat meroketnya harga kedelai akan segera mereda. Hal ini dapat dilihat dari rencana Bulog yang akan mengimpor 2,5 juta ton kedelai dalam waktu dekat. Sebagaimana disampaikan Dirut Perum Bulog pada saat mengunjungi kompleks pergudangan modern Perum Bulog bersama Wapres Ma’ruf Amin di kawasan Kepala Gading, Jakarta, pada 11/3/2022.
Untuk jangka pendek, rencana impor kedelai oleh Perum Bulog merupakan obat mujarab untuk menekan harga kedelai. Meskipun dalam hati kecil kita sangat miris. Betapa negara kita sangat rentan terhadap kerawanan pangan. Indonesia yang dikenal gemah ripah lohjinawi, tidak berdaya mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri.
Jika kita cermati, tren impor kedelai meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010 impor kedelai Indonesia sebanyak 1,74 juta ton dan pada 2019 naik menjadi 2,67 juta ton. Artinya, dalam 10 tahun terakhir kenaikan impor kedelai kita mencapai 0,93 Juta ton.
Di sisi lain produksi kedelai dalam negeri terus mengalami penurunan. Hal ini terlihat dalam target produksi kedelai yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam dokumen nota keuangan tahun anggaran 2021, target produksi kedelai dipatok sebesar 420.000 ton. Namun pada tahun ini, produksi diperkirakan turun menjadi 320.000 ton. Padahal permintaan Kedelai dalam negeri setiap tahun mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Pemanfaatan kedelai tidak hanya terbatas pada pembuatan tempe dan tahu serta produk turunannya, seperti keripik tempe dan kerupuk tahu. Kedelai juga merupakan bahan baku pembuatan kecap dan susu kedelai. Yang menjadi pertanyaan, mengapa pertumbuhan pasar kedelai tidak mendapatkan respons positif dari petani. Mengapa luas tanam kedelai justru mengalami penurunan dari tahun ke tahun?
Padahal kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang sangat penting di Indonesia. Posisinya nomor tiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai nasional berkisar 3 s/d 3,5 juta ton/tahun. Sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya sekitar 400-900 ribu ton.
Permasalahan dalam Negeri
Untuk mengembangkan kedelai nasional, perlu melihat pengembangan kedelai di luar negeri, khususnya Amerika Serikat yang merupakan pemasok kedelai terbesar di Indonesia. Ada perbedaan yang mencolok antara produktivitas kedelai nasional jika dibandingkan dengan produktivitas kedelai di Amerika Serikat.
Di Indonesia, produktivitas kedelai hanya berkisar 1,5-2 ton per hektar. Sementara di Amerika Serikat, produktivitas kedelai mencapai 4 ton per hektar. Padahal kondisi alam Indonesia dan Amerika Serikat di mana kedelai dibudidayakan relatif sama. Dari pengalaman di lapangan dan beberapa literatur, potensi produktivitas kedelai di Indonesia masih bisa ditingkatkan menjadi 2-3 ton per hektar.
Sejarah pengembangan kedelai di Amerika Serikat dimulai pada 1950-an. Waktu itu produktivitas kedelai di Amerika Serikat berkisar 1,0-1,5 ton per hektar. Namun dengan adanya riset dan penyuluhan tentang pengembangan kedelai secara terpadu, maka produktivitas kedelai di Amerika Serikat terus mengalami peningkatan. Sampai akhirnya produktivitasnya mencapai 4 ton per hektar seperti saat ini.
Oleh karena itu, seharusnya kita serius mengurai permasalahan yang menjadi penyebab rendahnya produktivitas kedelai dalam negeri. Baik dari segi teknis maupun dari segi non teknis. Untuk faktor teknis, rendahnya produktivitas kedelai terutama terkait dengan penguasaan teknologi budidaya yang masih tidak maksimal. Terutama dalam penerapan panca usaha tani. Mulai dari penggunaan benih unggul bersertifikat, pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, pengendalian hama penyakit, dan penanganan pascapanen. Khusus untuk teknologi budidaya kedelai dapat dilakukan dengan introduksi teknologi baru melalui kegiatan penyuluhan pertanian.
Di Indonesia, ketersediaan benih unggul merupakan masalah serius dalam pengembangan kedelai nasional. Harus diakui inovasi pemuliaan benih unggul kedelai sangat memprihatinkan. Berbanding terbalik dengan inovasi perbenihan pada tanaman padi dan jagung. Dalam buku deskripsi varietas unggul kedelai 1918-2016, sejak 2010 sampai dengan 2016 hanya terdapat 14 varietas unggul baru tanaman kedelai. Bandingkan dengan varietas unggul pada tanaman padi dan jagung yang jumlahnya mencapai ratusan. Kondisi ini tentu merugikan petani karena pilihan varietas unggul sangat terbatas.
Padahal kita ketahui bersama. Kondisi agroklimat Indonesia sangat beragam. Baik dari jenis tanah, ketersediaan air, dan kandungan unsur hara tanah. Sehingga mestinya dibutuhkan jenis bibit unggul yang spesifik lokalitas. Keunggulan itu bisa dilihat dari toleransi terhadap kekeringan, ketahanan terhadap hama penyakit, maupun potensi hasil panen yang tinggi.
Masalah berikutnya yang dihadapi petani adalah pasokan pupuk yang lancar. Saat ini petani dihadapkan pada ketersediaan pupuk yang terkesan tidak memadai. Padahal alokasi pupuk bersubsidi terus meningkat dalam 3 tahun terakhir. Pada 2022 untuk pupuk urea dialokasikan sebanyak 4.232.704 ton, SP-36 sebanyak 541.201 ton, ZA sebanyak 823.475 ton, NPK sebanyak 2.470.445 ton, NPK Formula Khusus sebanyak 11.469 ton, Organik Granul sebanyak 1.038.763 ton dan organik Cair sebanyak 1.870.380 ton.
Mengapa ketersediaan pupuk bersubsidi di lapangan terkesan kurang? Hal ini terjadi karena adanya asimetri informasi antara petani dengan distributor dan agen selaku pengecer pupuk bersubsidi. Titik inilah yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam distribusi pupuk bersubsidi. Apalagi supremasi hukum di lapangan sangat lemah; sangat rawan terjadi penyalahgunaan terhadap penggunaan pupuk bersubsidi –dalam bentuk penjualan di atas HET ataupun pengalihan pupuk bersubsidi kepada pihak lain.
Yang terakhir adalah persoalan panen dan pascapanen kedelai. Hal penting yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah melakukan stabilisasi harga kedelai. Tidak adil jika pemerintah tidak memberikan perlindungan terhadap harga kedelai dalam negeri. Karena sejatinya di negara maju pemerintah memberikan perlindungan kepada petani kedelai. Di Amerika Serikat perlindungan kepada petani kedelai diberikan dalam bentuk subsidi dan jaminan keamanan terhadap berbagai risiko yang dihadapi petani.
Tidak fair jika petani kedelai dibiarkan bersaing dalam pasar bebas. Harus ada intervensi kebijakan yang berpihak kepada petani kedelai nasional. Mulai dari menyederhanakan tata niaga, penetapan harga pokok penjualan (HPP), dan pemerintah menjadi off taker kedelai lokal. Skema ini bisa dilakukan dengan melibatkan Bulog untuk menyerap kedelai yang dihasilkan oleh petani dengan harga pokok pemerintah. Selanjutnya Bulog mendistribusikan kepada pengrajin tahu dan tempe, secara langsung atau melalui kelembagaan yang menaungi pengrajin. Jika kondisi ini terwujud, maka akan merangsang pertumbuhan industri kedelai nasional dari hulu sampai hilir.
Moch Kosim, ASN pada Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Comment here