Oleh: Rudi Hartono, Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute
Jakarta, KABNews.id – Menjelang penutup abad ke-19, tepatnya pada 1860, terbit novel yang menggemparkan Hindia-Belanda. Novel yang ditulis oleh nama pena “Multatuli” itu penuh gugatan terhadap praktik kolonialisme di Hindia-Belanda.
Pramoedya Ananta Toer menyebut “Max Havelaar” sebagai “buku yang membunuh kolonialisme”.
Novel ini turut memantik api nasionalisme di Hindia-Belanda. Banyak tokoh pergerakan pada masa awal, seperti Kartini, Tirto Adhisuryo, dan Agussalim, tergugah kesadarannya oleh novel ini. Menariknya, selain gugatan terhadap kolonialisme, novel ini menelanjangi praktik korupsi yang melibatkan penguasa pribumi (bupati dan para demang) dan administratur kolonial.
Novel ini menyingkap kelindan antara korupsi dan kolonialisme. Ketika Belanda menaklukkan Nusantara, jumlah mereka tak lebih dari 22.000 orang. Agar bisa berkuasa lama di negeri yang berpenduduk besar dan maha luas ini, mereka butuh memanfaatkan struktur lama warisan sistem feodal Nusantara: raja dan bangsawan.

Mereka diangkat menjadi bupati, demang/patih, wedana, asisten wedana, dan lain-lain. Itu yang membuat praktik korupsi berjalan beriringan dengan kolonialisme. Sehingga, ketika api kebangsaan mulai berkobar, musuhnya bukan hanya korupsi, tetapi penyakit-penyakit sosial yang membuat bangsa ini terbelakang dan terjajah: feodalisme dan korupsi.
Sayang sekali, setelah Indonesia merdeka, hanya kekuasaan kolonial yang ambruk. Penyakit sosial yang merusak, seperti patrimonialistik, patron-klien dan korupsi, masih bertahan. Bahkan, ketika Orde Baru berkuasa selama lebih dari tiga dekade, praktik-praktik itu tetap lestari.
Korupsi masih lestari
Hari ini, memperingati Proklamasi Kemerdekaannya ke-78, Indonesia belum merdeka dari korupsi. Melihat data KPK, lembaga ini telah menangani 1.519 kasus korupsi sepanjang 2004-2022. Sebanyak 521 tersangka memiliki irisan dengan politik, mulai dari anggota legislatif (DPR RI dan DPRD) hingga kepala daerah (gubernur, wali kota, ataupun bupati).
Sejak reformasi 1998 hingga sekarang, sudah ada 15 menteri dari 7 periode pemerintahan yang tersangka korupsi. Kenyataan itu juga yang membuat skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia selalu menghuni papan bawah dunia.
Pada 2022, IPK Indonesia hanya 34 poin dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara. Skor ini turun 4 poin dari 2021 yang berada pada skor 38 atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995.
Korupsi masih lestari karena penyakit warisan feodal, seperti patrimonialisme masih terawat baik dalam kultur politik Indonesia. Penyakit patrimonialisme masih menjangkiti hampir semua lembaga politik, dari parpol, parlemen, hingga pemerintahan. Patrimonialisme inilah yang selalu menghambat tata kelola birokrasi dan politik kita menjadi rasional dan modern.
Sebaliknya, tata kelola birokrasi kita selalu menghadirkan hubungan antara atasan-bawahan yang sifatnya personal-hirarkis, tidak membedakan milik publik dan pribadi, loyalitas buta pada hirarki, dan perekrutan berbasiskan hubungan keluarga dan perkoncoan.
Kedua, korupsi juga berkelindan dengan struktur ekonomi kita yang bertumpu pada model ekstraktivisme. Esensi ekstraktivisme adalah model ekonomi yang berbasiskan pada eksploitasi sumber daya alam dan ekspor bahan mentah ke pasar dunia (Eduardo Gudynas, 2015).
Karena hanya berjualan bahan mentah, tak ada nilai tambah, model ekonomi ekstraktivisme membutuhkan intervensi politik untuk meminimalkan biaya operasional dan memaksimalkan keuntungan, mulai dari perizinan, pembebasan lahan, pengamanan saat beroperasi, insentif, keringanan pajak, kemudahan ekspor, dan lain-lain. Itu yang menyebabkan sektor ini sangat dekat dengan ekonomi rente dan kapitalisme kroni.
Ketiga, menguatnya fenomena oligarki akibat konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang di satu sisi dan menguatnya politik uang di sisi lain. Akibatnya, politik semakin terdominasi oleh orang super-kaya. Mereka kemudian menggunakan politik sekadar untuk mengamankan dan menumpuk kekayaan. Mereka mendominasi DPR dan pemerintahan.
Yang terjadi, mereka membajak kebijakan politik kepentingan pribadi. Yang terjadi bukan lagi korupsi berskala kecil dan terisolir pada individu, melainkan fenomena “state capture corruption”, yakni bentuk korupsi sistemis di mana kebijakan publik cenderung diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dari sebagian kecil anggota masyarakat. Indikasi ini sangat kuat terbaca dalam kasus revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan pengesahan UU Cipta Kerja.
Perang melawan korupsi
Korupsi harus diperangi habis-habisan. Selain karena berdampak negatif, seperti menjauhkan sumber daya dari kepentingan publik, memperparah ketimpangan, menggerogoti anggaran negara (APBN/APBD), ekonomi biaya tinggi, dan merusak institusi politik, korupsi juga merupakan warisan kolonialisme. Tanpa melikuidasi korupsi, tak ada kemerdekaan 100 persen.
Pertama, kita harus tetap memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Memperkuat KPK berarti memastikan KPK sebagai lembaga yang independen dan terbebas dari kekuasaan mana pun. Mengingat bahwa korupsi sudah meluas hingga struktur politik terbawah, perlu mempertimbangkan untuk memperluas KPK hingga tingkat kabupaten/kota.
Kedua, perlu mengikis penyakit patrimonialisme dalam politik dengan mendorong demokratisasi di tubuh partai, pembatasan masa jabatan ketua umum partai, dan transparasi keuangan partai.
Ketiga, mendukung agenda hilirasi ekonomi untuk membongkar model ekonomi ekstraktif. Hilirisasi akan menggeser budaya ekonomi dari “petik-jual, tebang-jual, keruk-jual” menjadi ekonomi produktif berbasis teknologi dan SDM. Ekonomi yang memberi keuntungan dari penciptaan nilai tambah, bukan karena rente.
Keempat, berhadap-hadapan dengan kondisi “state-captured” dan ketiadaan oposisi ideologis di parlemen, sulit berharap pada “check and balance” untuk mempersempit ruang korupsi. Satu-satunya tumpuan terbesar untuk memerangi korupsi adalah masyarakat sipil yang terorganisir.
Partisipasi masyarakat sipil dalam memerangi korupsi punya medan yang luas. Mulai dari kampanye luas untuk tidak memilih politisi korup dalam Pemilu/Pilkada, memperluas kanal pengaduan praktik korupsi, hingga mendorong konsep penganggaran partipatoris (participatory budgeting) dalam penyusunan anggaran pembangunan, terutama di tingkat kota/kabupaten hingga desa/kelurahan.
Akhir kata, dirgahayu Republik Indonesia. Semoga Indonesia lekas merdeka dari korupsi.
Dikutip dari Kompas.com, Jumat 18 Agustus 2023.
Comment here