Editor: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, KABNews.id – Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menguji perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dedek Prayudi, dkk terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan tujuan menurunkan ambang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden menjadi 35 tahun dari sebelumnya 40 tahun, dengan dalih moralitas dan rasionalitas serta diskriminasi.
“Permohonan ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, karena PSI tidak dapat mengajukan capres-cawapres, dan kader PSI tidak ada satu pun yang dapat menjadi capres atau cawapres,” kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani dalam rilisnya, Minggu (20/8/2023).
Ia kemudian menebak nasib perkara di MK belakangan ini yang hanya berujung pada dua kesimpulan, tanpa perlu menggali dari informan. “Jika terkait hak asasi manusia maka berdalih ‘open legal policy’, kemudian jika terkait kepentingan politik maka sarat akan kejanggalan,” tukas Julius.
Sebut saja, kata Julius, proses pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan transformasi KPK menjadi alat politik Presiden Joko Widodo melalui Putusan MK yang menempatkan KPK sebagai lembaga eksekutif di bawah kekuasaan Presiden (Permohonan No 79/PUU-XVII/2019, No 70/PUU-XVII/2019, No 59/PUU-XVII/2019, No 62/PUU-XVII/ 2019, No 71/PUU-XVII/2019, No 73/PUU-XVII/2019, dan No 77/PUU-XVII/2019).

“Kemudian dilanjutkan dengan perubahan syarat usia minimal Komisioner KPK dari 50 tahun ke 40 tahun (Pasal 29 Huruf e UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK), berbasis pertimbangan soal frasa ‘atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK’ yang tidak pernah ada pada seleksi pimpinan lembaga negara dan tidak ada juga di dalam konstitusi (UUD 1945) maupun UU KPK,” jelas Julius.
MK, kata Julius, jelas telah dikooptasi oleh Presiden Jokowi. “Menegaskan kesimpulan ini juga tidak dapat dilepaskan dari kedekatan personal Presiden Jokowi dengan Ketua MK (Anwar Usman, red) yang merupakan adik iparnya sendiri meski melanggar Pasal 17 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan Penerapan Prinsip Ketidakberpihakan dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Ditambah sebelumnya, Hakim MK diberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Jokowi,” sesal Julius.
Bukan Perlakuan Khusus Anak Presiden
Menurut Julius, bicara soal diskriminasi atas hak politik warga negara sejatinya bicara soal pengkebirian hak dipilih melalui “threshold” (ambang batas pencalonan), baik “parliamentary threshold” (ambang batas perlemen) maupun “presidential threshold” (ambang batas capres), yang juga menggunakan “tangan kotor” MK.
“Pengujian tersebut berujung pada kesimpulan bahwa ambang batas suara sebagai syarat pengajuan pasangan capres-cawapres adalah konstitusional. Dampaknya, tidak ada seorang warga negara pun yang punya hak dipilih untuk dapat mencalonkan diri di pemilu sebagai wakil rakyat (DPR) atau presiden tanpa melalui partai politik. Tidak hanya itu, justru memaksa partai politik untuk berkongkalikong suara hingga transaksi ‘money politics’ yang menyandera presiden dengan proyek sebagai ‘balas jasa’ politik,” paparnya.
Gugatan ambang batas usia yang diajukan PSI ke MK, lanjut Julius, tidak dapat dilepaskan dari dua fakta. Pertama, katanya, PSI adalah partai komprador Presiden Jokowi; dan kedua, posisi pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden yang kini menjabat Walikota Surakarta, Jawa Tengah, sebagai cawapres.
“Fakta ini membawa presumsi bahwa permintaan penurunan batas usia capres-cawapres pada gugatan PSI adalah untuk memuluskan jalan Gibran yang digadang-gadang menjadi cawapres bagi capres Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan, bermodal propaganda melalui survei yang melampaui cawapres yang ada (Erick Thohir, Muhaimin Iskandar, bahkan Airlangga Hartarto) dan jabatan ‘incumbent’ (petahana) sebagai Walikota Surakarta. Tidak terlihat adanya persoalan diskriminasi hak politik dalam gugatan PSI, yang jelas justru perlakuan khusus melalui rekayasa legislasi,” terangnya.
Peneliti PBHI Andi Nur Ilman menambahkan, agaknya mustahil berharap MK tidak dimaknai sebagai Mahkamah Keluarga ketika perkara yang isinya berelasi kuat dengan anak kandung Jokowi (Gibran) diajukan oleh komprador Presiden kepada lembaga dengan salah satu hakimnya adalah adik ipar Jokowi. “Nyaris tidak mungkin tidak ada ‘cawe-cawe’. It’s all about, and it’s on Presiden Jokowi. Wajar jika publik khawatir akan bait akhir putusan MK akan mutlak dikabulkan sepenuhnya, seperti didikte,” jelas Andi.
“Mengingat pendiktean MK juga terlihat jelas dari preseden buruk gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang sangat mirip dengan ambang batas usia capres-cawapres yang diajukan PSI. Yakni, terkait batas usia Komisioner KPK: usia diturunkan, lalu diberi embel-embel ‘berpengalaman sebagai pimpinan lembaga’. Jangan sampai pendiktean putusan MK seperti ‘copy-paste’ putusan Nurul Ghufron untuk PSI, yakni ‘ambang batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun dengan syarat berpengalaman sebagai pimpinan pemerintahan (baca: kepala daerah)’,” kata Andi lagi.
“Hakim Konstitusi perlu ingat bahwa masa jabatan sebagai hakim terbatas, dan nasibnya pun berubah-ubah tergantung rezim. Seperti dua Hakim Konstitusi yang dicokok KPK sampai masuk penjara. Tidak ada jaminan ‘kebebasan dan keselamatan’ Hakim Konstitusi pasca-selesai masa jabatan,” lanjutnya.
Oleh sebab itu, kata Andi, Hakim Konstitusi harus menjaga nama baik yang melekat sejak berdirinya MK, yakni “penjaga konstitusi” (the guardian of the constitution), “pelindung demokrasi” (the protector of democracy), “pelindung hak asasi manusia” (the protector of human rights), “penafsir final konstitusi” (the final interpreter of the constitution), “pelindung hak konstitusional warga negara” (the protector of the citizen’s constitutional rights), dan “pengawal ideologi negara” (the guardian of state ideology).
“Semua nama-nama baik itu akan terwujudkan jika MK tetap berpegang pada konstitusi dan menegaskan ambang batas usia capres-cawapres bukanlah diskriminasi melainkan kualifikasi, dan menolak despotisme kekuasaan eksekutif yang bahkan melebihi rezim otoritarian Orde Baru yang hanya menempatkan legislatif di bawah kekuasaan politik praktisnya, bukan yudikatif apalagi MK,” tandas Andi.
Comment here