Oleh: Hasanuddin Wahid, Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)/Anggota Komisi X DPR RI
Jakarta, KABNews.id – Perang Rusia dan Ukraiana telah berlangsung lebih dari setahun. Perang ini mengubah agenda, teori, dan paradigma geopolitik dan geoekonomi, kawasan Eropa dan dunia.
Perang Rusia-Ukraina telah mengarah pada proses yang mempertanyakan status quo dan perang konvensional tradisional. Perang ini dicirikan sebagai perang asimetris (asymmetric warfare), proksi, dan hibrida. (Bdk.Aimoor Daniiarova, www.ankasam.org,2023).
Perang Rusia-Ukraina telah berubah menjadi perang proksi dengan partisipasi aktor global dan regional – Uni Eropa (UE) dan perluasan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) – yang memberikan bantuan, tetapi tidak berperang di lapangan.
Dalam aspek lain, perang Rusia-Ukraina menonjol sebagai contoh perang hibrida. Salah satu elemen terpenting dari perang hibrida adalah kekuatan lunak; fase damai perang bisa disebut penerapan soft power. Kedua pemerintah menggunakan informasi, propaganda, dan disinformasi secara efektif.
Dalam perang hibrida, alat seperti tekanan diplomatik atau ekonomi, revolusi warna, terorisme, serangan dunia maya, dan spionase digunakan bersama dengan senjata konvensional. Sedangkan Aimoor Daniiarova (2023) menyebutkan peperangan antara Rusia versus Ukraina adalah peperangan asimetris. Pasalnya, Rusia jauh lebih kuat dari Ukraina dalam hal teknologi militer dan pasukan. Namun, faktor-faktor seperti konjungtur politik global, dukungan komunitas internasional, keberhasilan dalam perang informasi, dan pertahanan yang sah memberi Ukraina dukungan militer, ekonomi, dan politik yang serius.
Bahkan dibandingkan dengan karakter terkenal “David and Goliath”, memberikan pesan bahwa yang lemah, tapi benar akan menang. Konsep perang asimetris memiliki beberapa dimensi. Pada dimensi operasional, perang asimetris memanfaatkan kelicikan dan tipu muslihat, operasi rahasia, pengkhianatan, dan aksi terorisme. Pada dimensi strategi militer, konsep tersebut mewujud dalam bentuk perang gerilya.
Pada dimensi strategi sosial-politik, konsep perang asimetris tampak dalam wujud kampanye perang moral atau perang dengan pembenaran agama atau Kitab Suci, benturan budaya, kampanye dukungan melalui media digital dan media sosial, kampanye sanksi ekonomi, tawaran diplomasi dan negosiasi untuk gencatan senjata.
Perihal perang asimeteris Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan pemenang Nobel Perdamaian, Henry Kissinger pernah berkomentar demikian: “Efek perang asimetris sungguh dahsyat karena berdampak selain kelumpuhan menyeluruh bagi negara bangsa, juga membutuhkan biaya tinggi dan perlu waktu yang relatif lama untuk proses recovery (pemulihan kembali)-nya kelak. Makanya, dalam perang asimetris berlaku prinsip, ‘kuasai minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka Anda mengontrol rakyat.’” (Bdk. M Arief Pranoto, 2015).
Efeknya bagi kondisi geopolitik
Hingga kini, perang Rusia Vs Ukraina belum dapat diprediksi kapan selesainya. Yang jelas, perang tersebut akan menimbulkan efek ‘bola salju’ yang besar, baik kondisi geopolitik dan geoekonomi regional (Eropa) maupun global.
Dari perspektif geopolitik, perang Rusia vs Ukraina menimbulkan ketegangan politik antara NATO dan Rusia bersama sekutunya seperti China. Pihak NATO dengan promotornya AS terus mencari strategi untuk menyudutkan Rusia. Putin, misalnya, dituduh melanggar HAM karena konflik yang digalakkannya telah mengakibatkan 14 juta penduduk kehilangan tempat tinggal, puluhan ribu orang kehilangan nyawanya, ribuan orang cacat fisik, ribuan anak menjadi yatim piatu, dan ribuan orang pula menjadi single parent.
Pakar politik Bronwen Maddox dari Chatham House, AS, menyebutkan bahwa keputusan Presiden Vladimir Putin memulai konflik skala penuh dengan Ukraina satu tahun yang lalu adalah kejutan global yang menandai berakhirnya 30 tahun globalisasi secara tiba-tiba. Serangan tersebut merusak semua potensi kerja sama internasional dengan implikasi serius bagi negara-negara di seluruh dunia.
Menurut dia, perang Ukraina tak hanya akan merusak tatanan geopolitik dan geoekonomi di Eropa, tapi juga merusak upaya yang lebih luas untuk mengelola peran Tiongkok di Indo-Pasifik, dan peran negara-negara di lembaga-lembaga multilateral. Perang Ukraina memicu AS untuk memantau secara lebih ketat gerak-gerik ‘sahabat Rusia’ (China), di kawasan Indo-Pasifik. Meskipun banyak pengamat meragukan, CIA baru-baru ini memperingatkan bahwa China berencana merebut Taiwan pada 2027.
Kini, pengamat politik dan keamanan global mengkhawatirkan bahwa dukungan Barat yang terang-terangan atas Ukraina dapat memicu konflik bersenjata, bahkan perang nuklir antara Rusia dan sekutunya melawan negara-negara anggota NATO yang menjadi pembela Ukraina.
Efeknya bagi kondisi geoekonomi
Secara ekonomi, perang Rusai vs Ukraina menimbulkan dampak regional dan global yang sangat berat. Pada pertemuan baru-baru ini di Berlin, Perdana Menteri Ukraina Denys Shmyhal mengatakan kepada para pemimpin Barat bahwa konflik telah menghapus setidaknya 35 persen perekonomian negaranya. Pasalnya, perang telah menghancurkan sebagian dari jaringan listrik, pembangkit energi nuklir, jaringan transportasi darat, laut dan udara, lahan pertanian, area pertambangan, gedung perkantoran, ribuan bisnis hancur, dan pabrik manufaktur.
Sebuah laporan terbaru dari Organisasi Perburuhan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO) memperkirakan bahwa hingga November 2022, perang telah menyebabkan 2,4 juta orang Ukraina kehilangan pekerjaan dan memberikan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada sistem kesejahteraan sosial negara itu.
Bank Nasional Ukraina (NBU) memperkirakan bahwa pengangguran akan mencapai sekitar 26 persen pada tahun 2023, dengan penurunan pada tahun 2024 menjadi 20 persen, dan pada tahun 2025 menjadi 17,6 persen.. (Bdk.www.npr.org, November 2, 2022).
Di sisi lain perang juga berpengaruh langsung pada Rusia. Dampak positifnya, Rusia telah meraup keuntungan jangka pendek melalui harga gas dan minyak yang tinggi, mengambil pendapatan 28 persen lebih banyak daripada sebelum perang. Lalu, ketika jaringan pipa besar Eropa menganggur, Rusia berjibaku mencari pelanggan baru.
Alhasil, India dan China menjadi importir minyak Rusia terbesar yang sama dan telah menandatangani kesepakatan gas selama 30 tahun. Tetapi dampak positif ini tak bisa bertahan lama. Sebab pasar telah berubah secara mendasar dengan kesepakatan baru, energi terbarukan yang meningkat. Baik pemerintah maupun konsumen sama-sama menyadari dinamika dan kerapuhan jaringan pasokan global.
Dampak negatif perang bagi Rusia adalah sanksi ekonomi oleh masyarakat dunia. Hal itu membuat kegiatan produksi dan perdagangan internasional dari dan ke Rusia terganggu sehingga mengangkat jumlah pengangguran. Per Januari 2023, terdapat 2,7 juta pengangguran, atau 3,6 persen dari angkatan kerja, 71,2 juta orang. (Bdk. www.take-profit.org/en/statistics).
Pengangguran dan kesulitan ekonomi, baik di Ukraina maupun di Rusia, memicu arus migrasi besar-besaran ke berbagai negara tetangga, terutama di kawasan. Perang Ukraina telah membuat kondisi geoekonomi regional goncang. Uni Eropa (UE), misalnya, harus memikul beban karena harga gas alam di Eropa membengkak tiga kali lipat. UE juga harus menganggarkan 175 miliar euro atau sekitar 1,1 persen hingga 1,4 persen dari PDB pada 2022 untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Setidaknya UE telah mengeluarkan 50 miliar euro untuk menahan konsekuensi harga domestik dari situasi yang diperparah oleh guncangan pasokan melalui transfer, pemotongan pajak, dan kontrol harga yang diatur. (Bdk. www.chathamhouse.org/2023). Perang tersebut menyebabkan kondisi geoekonomi global melemah. Hal itu terjadi karena pasokan biji-bijian, pupuk, dan energi dari Ukraina dan Rusia menipis. Kondisi geoekonomi menjadi lebih darurat karena adanya inflasi dan ketidakpastian ekonomi di dunia yang bersaing untuk mendapat pasokan pangan dan energi dari keduanya.
Dampaknya bagi Indonesa
Perang Rusia vs Ukraina ikut melemahkan kerjasama ekonomi, investasi dan perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Ukraina dan Rusia. Data Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mencatat Indonesia memiliki investasi di Ukraina, di antaranya di bidang farmasi dan bidang teknologi informasi dan marketing.
Sedangkan, investasi langsung Ukraina ke Indonesia pada 2021 ada sekitar 55 proyek dengan nilai 1,13 juta dollar AS atau Rp 16,1 miliar. Data dari Kementerian Perdagangan, menunjukkan bahwa pada 2021, nilai perdagangan Indonesia-Ukraina menyentuh angka 1,46 miliar dollar AS atau Rp 20,8 triliun. Namun, setelah konflik dengan Rusia, perdagangan dengan Indonesia hampir sepenuhnya dihentikan. (Bdk.bisnis.tempo.co, 23 Febeuari 2023).
Ukraina juga dikenal sebagai lumbung Eropa. Dalam hal gandum, Indonesia mengimpor sebagian besar gandum dari Ukraina. Pada 2020, Indonesia mengimpor 2,96 juta ton gandum dari Ukraina. Semenjak perang pecah, kegiatan impor merosot, bahkan jarang terjadi. Begitu pula kerja sama ekonomi kita dengan Rusia.
Menurut BKPM, Rusia menempati posisi ke-37 dalam hal investasi di Indonesia. Pada 2021, negara tersebut meneken investasi di 280 proyek dengan nilai mencapai 9,2 juta dollar AS (per Januari—September 2021). Akumulasi aliran investasi langsung Rusia ke Indonesia dalam kurun 2016—2021 mencapai 46,82 juta dollar AS. Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+ Namun, semenjak perang, Rusia membatalkan hampir seluruh komitmen investasinya di Indonesia.
Melihat efek negatifnya yang begitu buruk, tentu saja kita berharap segera ada solusi damai di antara kedua negara yang sedang berperang itu. Berdasarkan amanat konstitusi tentang politik ‘bebas aktif’, Indonesia semestinya giat mencarikan solusi damai atas perang Rusia vs Ukraina itu.
Dikutip dari Kompas.com, Kamis 16 Maret 2023.
Comment here