Opini

Pilpres 2024: Quarter Democracy Crisis?

Oleh: Arsul Sani

Jakarta, KABNews.id – Dalam disiplin ilmu kesehatan atau psikologi dikenal istilah quarter life crisis, yang dipahami sebagai krisis diri atau personal tentang kehidupan mereka yang memasuki masa dewasa. Dipergunakannya istilah “quarter” karena krisis hidup ini kerap terjadi pada orang muda dalam fase umur 25 – 30 tahun. Krisis personal ini timbul karena ketidaknyamanan, kegundahan atau kecemasan tentang arah hidup di masa depan. Mereka yang mengalami quarter life crisis merasakan ketidakpastian dan bahkan ancaman terhadap masa depan kehidupan yang lebih baik.

Pemahaman tentang quarter life crisis ini bisa kita pinjam untuk menggambarkan fase kehidupan demokrasi Indonesia yang berumur 25 tahun ketika kita menghitung permulaannya dari 1998, tahun dimulainya Orde Reformasi. Dengan meminjam terminologi tersebut, tulisan ini mengintroduksi istilah quarter democracy crisis untuk menyoal keadaan demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia saat ini.

Arsul Sani. (detik.com)

Tentu kita bisa berdebat panjang apakah saat ini Indonesia sedang mengarah pada gejala krisis demokrasi setelah dua puluh lima tahun era Reformasi? Jawaban atas pertanyaan ini memang bisa berbeda-beda diantara kita. Namun agar jelas ukuran atau rujukannya, maka seyogianya kita menggunakan parameter-parameter tentang indikasi ada-tidaknya krisis demokrasi di suatu negara sebagaimana dapat dijumpai dalam literatur ilmu politik.

Parameter tersebut misalnya dengan menganalisis ada dan berkembang-tidaknya keraguan kalangan civil society bahwa pemilu akan merupakan free and fair elections. Kemudian ada-tidaknya kecemasan terhadap tegaknya prinsip the rule of law (negara hukum) dalam kehidupan bernegara (Abramowitz, 2017). Di luar keduanya, ada parameter tumbuh-tidaknya ketidakpuasan yang makin meninggi terhadap (keadaan) politik yang sedang berjalan (Campus & Andre, 2014).

Parameter lainnya adalah masih efektif-tidaknya lembaga perwakilan menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif (Shields, 2006). Yang juga dianggap menjadi parameter krisis demokrasi ialah apakah berkembang kecurigaan akan adanya “pengaturan” (arrangement) oleh pemegang kekuasaan dengan tujuan untuk melakukan penghindaran terhadap prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam proses-proses politik dan pengambilan keputusan yang normal (Runciman, 2014).

Jika kita terapkan parameter-parameter di atas terhadap apa yang berkembang di lingkungan sosial-politik kita saat ini, maka tak bisa dipungkiri bahwa di hari-hari ini kita menyaksikan sejumlah kalangan masyarakat sipil yang menyuarakan kecemasan, kegundahan dan ketidakpuasan terhadap keadaan demokrasi di negara kita. Arah sentralnya adalah keraguan yang makin tinggi bahwa Pemilihan Umum –tepatnya Pemilihan Presiden– 2024 akan bisa berlangsung dengan jujur dan adil (jurdil), meski sifat lubernya (langsung, umum, bebas dan rahasia) bisa jadi tidak bermasalah.

Selain itu dicemaskan pula akan tetap tegaknya prinsip rule of law yang menjadi prasyarat sebuah negara hukum. Kecemasan ini ditandai dengan sindiran-sindiran penegakan hukum di tengah masyarakat bahwa “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” dan “hukum tajam ke kanan, tapi tumpul ke kiri”. Sedangkan parameter terkait dengan tidak berjalannya pengawasan melalui mekanisme checks and balances akibat dominan-nya kekuatan fraksi/partai politik yang memiliki kursi di DPR merupakan hal yang sudah lebih awal disuarakan. Terakhir, yang menjadi concern kalangan masyarakat sipil adalah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam proses peradilan konstitusional yang menghasilkan Putusan No. 90/PUU/2023 dinilai publik sebagai terdapat pelanggaran etika.

Bagi saya, soal akurasi dan kuantum kecemasan serta kegundahan yang disampaikan tersebut memang bisa kita perdebatkan. Namun, akan lebih produktif jika kita lebih fokus bekerja untuk memperbaiki kualitas demokrasi kita (yang dianggap sedang menurun itu) dari pada memperdebatkannya secara terus menerus tanpa ikhtiar perbaikan. Memang harus diakui bahwa tanggung jawab utama dalam kerja-kerja memperbaiki keadaan demokrasi kita khususnya yang terkait dengan Pemilu 2024 ada pada kelembagaan dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Majelis Kehormatan MK telah mengambil porsinya melakukan kerja perbaikan itu melalui putusan etiknya yang saya yakini akan memperbaiki kepercayaan publik terhadap MK.

Seruan netralitas TNI, Polri, dan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, termasuk penyelenggara pemilu, telah dikumandangkan oleh Presiden Jokowi sendiri. Namun masih menyisakan pertanyaan apakah seruan tersebut benar diwujudkan dalam sikap nyata di lapangan. Tentu terpulang kepada TNI, Polri, dan K/L terkait untuk menjawabnya di bawah tatapan jutaan rakyat Indonesia. Yang jelas, ketidakjelasan jawaban atas keharusan netralitas tersebut berpeluang besar menjadikan Pemilu Serentak 2024 wujud quarter democracy crisis di Indonesia.

Arsul Sani, Wakil Ketua MPR, Anggota DPR periode 2019-2024, terpilih sebagai Hakim Konstitusi MK mulai Januari 2024.

Dikutip dari detik.com, Kamis 16 November 2023.

Comment here