Oleh: Sugiat Santoso
Jakarta, KABNews.id – Polarisasi politik yang hadir di Indonesia sesungguhnya menyisakan residu potensi perpecahan yang melibatkan elemen masyarakat bangsa. Pertarungan antara Prabowo melawan Jokowi yang sama-sama maju menjadi calon presiden di Pemilu 2014 adalah babak pembukanya.
Sosok Prabowo dipersepsikan negatif sebagai sosok militeristik yang membangkitkan semangat otoritarianisme Orde Baru, sementara sosok Jokowi dicap negatif sebagai sosok pemimpin yang berpotensi membangkitkan komunisme di Indonesia.

Kedua persepsi negatif itu kemudian dikonversi menjadi hoaks dan kampanye hitam untuk membusukkan citra masing-masing kandidat. Padahal antara Jokowi dan Prabowo sama-sama lahir dari kaderisasi partai nasionalis yang memiliki tujuan ideologi memperjuangkan rakyat kecil, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Gerindra yang sebelumnya bekerja sama di Pilpres 2009 lewat pasangan Megawati-Prabowo.
Pada babak selanjutnya, polarisasi di masyarakat semakin membuncah pada Pilkada DKI 2017. Ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu soal Surat Al-Maidah (51) adalah trigger utama yang menghadirkan kemarahan umat Islam yang melakukan demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan kota-kota besar di seluruh Indonesia.
Pada upaya mendinginkan suasana, Prabowo dan Jokowi lalu bertemu di Hambalang, Jawa Barat pada 31 Oktober 2016 atau tepat empat hari sebelum demonstrasi besar 411 yang berlangsung pada 4 November 2016.
Adapun Jokowi dan Prabowo kala itu tampil ke hadapan publik dengan menunggang kuda untuk menegaskan sebuah rekonsiliasi persatuan serta menguatkan agar demonstrasi tidak ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pilpres dua tahun sebelumnya yaitu Pilpres 2014. Situasi kemudian terkedali. Demonstrasi umat Islam yang melakukan protes terhadap ucapan Ahok itu pun berjalan dengan aman dan damai.
Singkatnya, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akhirnya terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017. Keterpilihan Anies-Sandi di DKI Jakarta ternyata menghadirkan ketidakpuasan dari pendukung Ahok. Selain itu, kewajiban Ahok untuk menjalani hukuman dua tahun penjara atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memutuskan Ahok terbukti bersalah melanggar Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama menghadirkan pembelahan di masyarakat.
Istilah cebong, kampret, dan kadal gurun kemudian tiba-tiba muncul dari semburan buzzer politik di lini masa media sosial. Diksi cebong untuk mempersonifikasikan pendukung Ahok dan Jokowi serta kampret atau kadal gurun sebagai simbolisasi untuk pendukung Anies dan Prabowo selanjutnya bertransformasi menjadi narasi kebencian.
Dampaknya pada kampanye Pilpres 2019 yang kembali mempertemukan antara Jokowi dan Prabowo menghadirkan polarisasi ekstrem yang tidak hanya terjadi di media sosial, tapi juga di akar rumput masyarakat pemilih.
Kampanye hitam dan hoaks yang menyerang masing-masing kandidat seolah menjadi hal lumrah yang pada akhirnya meninggalkan konflik horizontal dalam lingkungan pertemanan, keluarga, dan relasi sosial lainnya. Tensi politik yang tinggi pada tataran elit menular ke akar rumput yang berdampak pada situasi desktruktif yang tidak hanya merusak fasilitas publik, tapi juga fasilitas pribadi masyarakat.
Media sosial yang ramai dengan ujaran kebencian oleh masing-masing pendukung pasangan capres dan cawapres menjadi tidak terkendali. Puncaknya adalah tragedi kerusuhan berawal dari pelbagai kawasan Jakarta dengan titik temu Gedung Kantor Bawaslu RI akhirnya mengakibatkan enam orang meninggal dunia dan 200 orang luka-luka atas implikasi dari kalangan yang kecewa terhadap hasil pemilu.
Situasi ini menjadi penambah lara kesedihan. Lantaran sebelumnya, 894 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit sebagai dampak penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019.
Titik Keseimbangan Pemilih
Persaingan antara Jokowi dan Prabowo di pilpres ibarat el clasico dalam politik nasional. Dua kali Jokowi bertarung dengan Prabowo, dua kali pula Jokowi menang atas Prabowo yaitu di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Namun, persaingan Jokowi dan Prabowo tidak menghadirkan sentimen pribadi karena keduanya memiliki visi yang sama dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
Pertemuan antara Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta pada 13 Juli 2019 adalah kunci lahirnya rekonsiliasi nasional. Prabowo selanjutnya menghadiri pelantikan Jokowi-Maruf Amin pada 20 Oktober 2019, kemudian dua hari selanjutnya pada 23 Oktober 2019 Prabowo dilantik menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju.
Bergabungnya Prabowo ke kabinet Jokowi tentu mengingatkan kita pada peristiwa rekonsilisasi politik yang menyatukan Negara Amerika Serikat pada 1860 kala Willem Henry Seward diangkat menjadi Sekretaris Negara oleh Presiden terpilih Amerika Serikat Abraham Lincoln. Adapun Seward adalah rival dari Lincoln dalam konvensi internal Capres Partai Republik. Namun, demi persatuan di Amerika Serikat yang pada saat itu mengalami perang saudara akibat perbudakan, Seward bersedia membantu Lincoln di pemerintahan.
Keputusan Lincoln soal bergabungnya Seward di pemerintahan terbukti tepat. Amerika Serikat secara perlahan mencapai persatuan nasional. Situasi yang hampir sama pula terjadi dalam politik nasional di Indonesia kala Prabowo bergabung ke pemerintahan Jokowi. Kita bisa keluar dari masa-masa sulit krisis Covid-19 yang sempat memukul hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
Tentu keberlanjutan soal persatuan nasional ini tidak boleh berhenti kala pemerintahan Jokowi berakhir pada 20 Oktober 2024 mendatang. Pada upaya menjaga kestabilan; baik politik, ekonomi, sosial hingga pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi penting sosok perekat yang dianggap mampu merawat persatuan nasional.
Nama Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi kemudian muncul ke permukaan dan dipilih menjadi cawapres di antara sengitnya pertarungan partai politik di Koalisi Indonesia Maju dalam menentukan pendamping Prabowo maju di Pilpres 2024 mendatang.
Adapun Koalisi Indonesia Maju terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan Partai Gelora yang secara aklamasi sepakat mengusung Gibran sebagai Cawapres Prabowo untuk meneruskan keberhasilan pemerintahan Jokowi yang dianggap sukses dalam sembilan tahun terakhir.
Dengan demikian, pada kontestasi Pilpres 2024 mendatang, ada tiga kandidat yang akan bersaing, yaitu pasangan Prabowo-Gibran, Ganjar-Mahfud, dan Anies-Muhaimin. Di antara ketiga pasangan tersebut, diferensiasi citra yang sudah terlihat dengan preposisi sentimen brand image yang menempatkan pasangan Ganjar-Mahfud berada di “kiri” dan pasangan Anies-Muhaimin di “kanan” sementara posisi pasangan Prabowo-Gibran berada di “tengah”.
Pasangan Prabowo-Gibran selanjutnya dianggap sebagai equilibrium atau titik keseimbangan politik nasional menuju Pilpres 2024. Asumsi ini bisa kita lihat dalam polling yang dirilis oleh pelbagai lembaga survei. Misalnya hasil polling yang dirilis oleh Lembaga Indikator Politik Indonesia pada 26 Oktober 2023 yang menyebutkan elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran adalah 37%, Ganjar-Mahfud 34,8%, dan Anies-Muhaimin 22,3% –sementara 5,8 % responden belum menjawab.
Jika simulasi dilakukan dengan dua pasangan calon, Prabowo-Gibran tetap unggul head to head baik melawan Anies-Muhaimin maupun melawan Ganjar-Mahfud. Situasi ini terjadi karena kecenderungan pemilih Prabowo-Gibran relatif lebih moderat.
Pemilih Anies-Muhaimin akan lebih mungkin memilih Prabowo-Gibran daripada memilih Ganjar-Mahfud di putaran kedua Pilpres 2024. Sebaliknya, pemilih Ganjar-Mahfud akan lebih mungkin pula memilih Prabowo-Gibran daripada memilih Anies-Muhaimin.
Artinya, dipilihnya Gibran sebagai Cawapres Prabowo bukan hanya dihitung berdasarkan pertimbangan kualitatif yang menautkan alasan psikologi dan perilaku pemilih, namun juga mempertimbangkan variabel kuantitatif dengan peningkatan suara Prabowo melalui pemilih setia Jokowi di dua pilpres terakhir yaitu Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 yang akan menjatuhkan pilihannya pada pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
Sugiat Santoso, Sekretaris Dewan Perwakilan Daerah Partai Gerindra (DPD) Provinsi Sumatera Utara.
Dikutip dari deti.com, Rabu 15 November 2023.
Comment here