Editor: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, KABNews.id – Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Setya Novanto dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI Imam Nahrawi mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Proklamasi Kemerdekaan RI.
Setya Novanto yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar, dan Imam Nahrawi yang juga mantan Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan narapidana kasus korupsi yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Rika Aprianti mengungkapkan, ada 16 narapidana kasus korupsi yang mendapat remisi langsung bebas. Tapi tidak termasuk Setya Novanto dan Imam Nahrawi.

Kasus Setya Novanto
Dikutip dari Tempo.co, Minggu (23/4/2023), Kasus Setyo Novanto sempat menghebohkan setelah beberapa kali berusaha mengibuli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghindari pemanggilan. Di antaranya drama kecelakaan yang membuatnya terpaksa dirawat di rumah sakit. Pengacaranya, Fredrich Yunadi, menyebut Setya Novanto mengalami benjol pada kepalanya. Usut punya usut, kecelakaan tersebut ternyata hanya rekayasa.
Kilas Balik Kasus Korupsi Setya Novanto
Sengkarut kasus proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP dengan tersangka Setya Novanto terbilang cukup panjang. Setya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP oleh KPK pada 17 Juli 2017. Namun status tersangka tersebut tak berlangsung lama. Pada 29 September 2017, Setya Novanto memenangkan sidang praperadilan dan putusan hakim menyatakan status tersangka atas dirinya tidak sah.
Pada 5 Oktober 2017, KPK melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara e-KTP. Dalam proses penyelidikan KPK meminta keterangan sejumlah pihak dan mengumpulkan bukti relevan. Dalam proses penyelidikan, Setya Novanto dua kali tidak hadir untuk dimintai keterangan, yakni pada 13 dan 18 Oktober 2017 dengan alasan sedang ada tugas kedinasan.
Pada 10 November 2017, KPK kembali menetapkan Setya Novanto menjadi tersangka e-KTP. Pengumuman penetapan tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung KPK di kawasan Kuningan Jakarta. Sebagai pemenuhan hal tersangka, KPK mengantarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada yang bersangkutan ke kediaman Setya.
KPK menjemput paksa Setya Novanto pada Rabu, 15 November 2017 karena sudah tiga kali mangkir saat dipanggil KPK untuk dimintai keterangan. Enam pegawai KPK menyambangi Setya Novanto di kediamannya, Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Melawai, Jakarta Selatan pada Rabu malam. Para penyidik menggeledah rumah Setya hingga dini hari. Namun Setya tidak ada di rumah dan tidak diketahui keberadaannya hingga ditetapkan sebagai daftar pencarian orang (DPO).
Pada 16 November 2017 Setya Novanto dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau setelah mobil yang dia tumpangi mengalami kecelakaan tunggal di daerah Permata Hijau, Jakarta Barat. Belakangan kecelakaan ini diketahui cuma akal bulus Setya Novanto untuk mengelabui KPK, hingga muncul istilah bakpau karena bejolan di dahinya menjadi populer saat itu. Pada 17 November 2017, KPK menahan Setya Novanto sebagai tersangka e-KTP. Namun, karena sakit, Setya dibantarkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau RSCM.
Pada 7 Desember 2017 Sidang perdana praperadilan Setya Novanto digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada Kamis, 29 Maret 2018, Setyo dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan korupsi KTP Elektronik. Jaksa menuntut Eks Ketua DPR RI itu 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
“Agar majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan terdakwa Setya Novanto secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdul Basir, dalam sidang pembacaan tuntutan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus ini, Setya dinilai menguntungkan diri sendiri senilai US$ 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille senilai US$ 135 ribu dolar dari proyek e-KTP. Setya pun dituntut berdasarkan dakwaan kedua dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Selain itu, jaksa KPK meminta Setya wajib membayar uang pengganti sesuai dengan uang yang ia terima sebesar US$ 7,435 juta dikurangi Rp 5 miliar, seperti yang sudah dikembalikan oleh Setya. Uang pengganti itu harus dibayarkan kepada KPK selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemudian menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Setya Novanto. “Menyatakan terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan korupsi yang dilakukan bersama-sama,” ujar hakim Yanto saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa, 24 April 2018.
Selain dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, Setya Novanto diharuskan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Menurut hakim, hal yang memberatkan hukuman adalah Setya melakukan tindakan yang bertentangan dengan program pemerintah, yakni memberantas korupsi. Hakim mengatakan korupsi adalah tindak kejahatan luar biasa. Sementara hal yang meringankan, menurut hakim, Setya berlaku sopan selama persidangan. Selain itu, Setya belum pernah mendapat hukuman.
Kasus Imam Nahrawi
Pada 29 Juni 2020 Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara atas kasus suap pengurusan proposal dan gratifikasi terkait dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Nahrawi dan asisten pribadinya Miftahul Ulum dinilai terbukti menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dari mantan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy guna mempercepat proses persetujuan dana hibah dari Kemenpora untuk tahun kegiatan 2018. Selain itu, Nahrawi disebut Majelis Hakim terbukti menerima gratifikasi senilai Rp8.348.435.682 dari sejumlah pihak.
Namun, vonis yang diterima Nahrawi lebih ringan dari tuntuan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, yakni 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara.
Comment here