Kabnews.id – Ekonomi memberitakan rencana pemerintah menaikkan usia pensiun pekerja menjadi 59 tahun mulai Januari 2025. Kebijakan ini memicu pro dan kontra di tengah masyarakat, menimbulkan pertanyaan besar: akankah kebijakan ini menjadi berkah atau malah beban bagi perekonomian dan para pekerja itu sendiri?
Di satu sisi, peningkatan usia pensiun berpotensi meningkatkan produktivitas. Pekerja senior, dengan pengalaman dan keahliannya yang matang, bisa menjadi aset berharga bagi perusahaan. Namun, realitas lapangan kerja di Indonesia perlu dipertimbangkan. Bekerja hingga usia 59 tahun, khususnya di sektor-sektor yang membutuhkan tenaga fisik, mungkin akan menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian besar pekerja. Pertanyaan akan kemampuan fisik dan kesehatan di usia tersebut menjadi pertimbangan krusial.
Selain itu, peningkatan usia pensiun diharapkan mampu meningkatkan jumlah dana pensiun yang terkumpul. Dengan masa kerja yang lebih panjang, pekerja memiliki waktu lebih lama untuk menyisihkan penghasilan guna masa pensiun. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja di masa tua. Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan total pekerja mencapai 144,64 juta orang pada Agustus 2024, berbanding terbalik dengan data BPJS Ketenagakerjaan. Per akhir November 2024, peserta Jaminan Pensiun (JP) baru mencapai 14,8 juta pekerja, jauh lebih rendah dibandingkan peserta Jaminan Hari Tua (JHT) yang mencapai 18,32 juta pekerja. Disparitas ini menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam menyukseskan kebijakan ini. Apakah program jaminan sosial sudah memadai untuk menjamin kesejahteraan para pekerja hingga usia 59 tahun? Pertanyaan ini perlu dijawab secara transparan dan komprehensif.