Guru Besar Teknik Mesin UGM, Prof. Deendarlianto, memberikan dukungan penuh terhadap peralihan ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Dia menekankan pentingnya agar pemerintah tetap konsisten dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 mengenai Kebijakan Energi Nasional yang telah dirancang dengan cermat untuk mencapai target net zero emission.
Prof. Deendarlianto sepakat bahwa pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) harus dipercepat mulai sekarang. Menurutnya, perubahan iklim telah menjadi masalah global yang mendesak dan memerlukan upaya bersama untuk mengatasinya.
“Kemudian juga adanya Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), di mana produk metal kita tidak bisa diterima di Eropa Barat kalau masih menggunakan energi fosil,” kata Prof Deen.
Namun, Prof. Deendarlianto menekankan bahwa segala hal ini dapat dilakukan secara paralel. Produksi barang-barang yang tercantum dalam CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) bisa memanfaatkan energi terbarukan, sehingga Indonesia tetap bisa membuat kemajuan dalam perencanaan menuju net zero emission.
“Tahun sekian hidrogen, tahun sekian biofuel, tahun sekian listrik, itu sudah ada perencanaannya. Oleh karena itu, saya pikir perencanaan yang sudah matang itu dilaksanakan saja sih. Jangan sampai kita tidak melihat itu,” katanya.
Prof. Deendarlianto berpendapat bahwa lebih baik memanfaatkan PLTU hingga masa operasionalnya selesai. Dia mengusulkan agar ketika permintaan energi meningkat, sumber daya tersebut dapat dipenuhi dengan menggunakan EBT. Setelah PLTU habis masa pakainya, barulah dapat digantikan sepenuhnya dengan energi terbarukan.
“Jadi kita tidak usah terburu-buru kalau saya sih, harus dihitung dulu demand-nya, supply-nya, dan economic impact-nya apa,” katanya.
“Karena saya khawatir gini, kalau seandainya kita terlalu terpaksa terburu-buru menggunakan energi baru terbarukan, kalau ujung-ujungnya import ya industri kita mau buat apa? Kita lebih dari 60% listrik kita dari batu bara. Jadi kalau mau dipensiunkan dalam 15 tahun, kalau saya sih perlu perhitungan yang matang,” tambah Prof Deen.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mencantumkan berbagai rencana mengenai sumber energi di Indonesia. Dalam peraturan tersebut, ditetapkan bahwa Energi Baru Terbarukan (EBT) harus berkontribusi setidaknya 23% pada tahun 2025, dan 31% pada 2050. Sementara itu, untuk batu bara, peranannya ditargetkan minimal 30% pada 2025 dan berkurang menjadi 25% pada 2050.
Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total kapasitas pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia telah mencapai 13.155 MW pada akhir tahun 2023. Dalam lima tahun terakhir, kapasitas pembangkit EBT bertambah sebesar 3.322 MW, dengan rata-rata kenaikan sekitar 6% per tahun. Meskipun demikian, hingga 2023, kontribusi EBT terhadap bauran energi nasional baru mencapai 13,09%.