Kabnews.id – Ekonomi memberitakan bahwa pengembangan bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia menghadapi tantangan besar, meskipun telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan tiga kendala utama yang menghambat kemajuan bioetanol.
Pertama, ketersediaan bahan baku. Berbeda dengan biodiesel yang memanfaatkan kelapa sawit melimpah, bahan baku bioetanol seperti tebu, jagung, sorgum, dan singkong masih jauh dari cukup. Fabby mencontohkan, Indonesia bahkan masih mengimpor gula, sementara produksi molase—bahan baku etanol—juga terbatas. Keterbatasan ini menjadi hambatan serius dalam meningkatkan produksi bioetanol secara signifikan.
Kedua, teknologi dan standar kualitas. Produksi etanol dengan kualitas fuel grade (99 persen kemurnian) membutuhkan teknologi dan proses yang tepat. Meskipun bukan hal mustahil, Fabby menekankan perlunya intervensi pemerintah untuk memastikan standar mutu terpenuhi dan teknologi yang dibutuhkan dapat diakses.
Ketiga, masalah harga. Harga etanol di pasar internasional cenderung lebih tinggi daripada harga minyak bumi. Hal ini disebabkan karena etanol juga menjadi komoditas penting dalam industri pangan dan berbagai sektor lain. Persaingan harga ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan bioetanol sebagai BBN yang kompetitif.
Fabby menegaskan perlunya keseriusan pemerintah dalam mengatasi ketiga tantangan tersebut. Intervensi pemerintah dalam pengadaan bahan baku menjadi kunci utama untuk mendorong pengembangan bioetanol sebagai BBN yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Tanpa dukungan yang komprehensif, mimpi bioetanol sebagai solusi energi terbarukan di Indonesia akan tetap menjadi impian.